Quantcast
Channel: AOmagz : New Story Everyday!
Viewing all 76 articles
Browse latest View live

Pilih Aku Atau Dia

$
0
0

Leo Ardiansyah. Ya, itulah namaku. Teman-teman biasa memanggilku Leo. Aku seorang siswa yang bersekolah di salah satu SMP ternama di Ibu Kota. Aku menginjakkan kaki di SMP itu pada tahun 2008. sekarang aku duduk di kelas IX. Tepatnya IX.2. Waktu pertama belajar, aku tidak berada di kelas. Karena aku bertugas sebagai Pemandu MOS siswa baru. Aku memiliki jabatan yang tinggi diantara teman-teman. Ketua OSIS. Itulah jabatanku.

 Detik demi detik waktu berlalu. Sampai suatu saat aku menemukan seorang pujaan hati yang telah lama aku cari. Kalau sudah jodoh emang gak kemana. Aku berpacaran dengan teman sekelas. Bermula saat pertama masuk kelas. Aku masuk kelas empat hari setelah teman-teman yang lain belajar. Ketika itu, aku disuruh memperkenalkan diri dihadapan teman-teman baru. Saat berdiri didepan, aku memperhatikan satu persatu teman-teman. Mata ku tertuju pada seorang wanita yang duduk di paling belakang. Wajahnya begitu menarik dan mempesona.
   
   Ketika jam pelajaran telah usai, aku coba untuk mendekatinya. Ku tanya lebih jauh tentang dirinya. “Hai, aku Leo!” ujarku sambil menjulurkan tangan bermaksud menjabat tangannya.
    “Hai. Aku Chesilia. Panggil aja Chesil!” balasnya sambil menyunggingkan senyuman manis dari bibirnya dan membalas jabatan tangaku. Beberapa detik kemudian kami sama-sama melepaskan jabatan tangan itu.
      “Kamu dulu kelas berapa?” tanyaku lebih lanjut.
      "Aku dulu kelas VIII.1” balasnya dengan ramah. Senyuman yang meluncur dari bibirnya sangat mempesona.

            Kami berbincang-bincang selama perjalanan menuju gerbang sekolah. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil Avanza hitam memiliki plat nomor polisi berwarna merah berhenti dihadapan kami. Aku tahu, itu mobil dinas. Lalu pintu belakangnya terbuka dan Chesil masuk kedalam mobil itu. Sebelumnya ia berkata “Aku pulang dulu ya. Sampai ketemu besok!”

            Aku hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kepala dan mataku masih memperhatikannya. Aku pun melangkah menuju keparkiran. Mengendarai motor matic menuju rumah. Setelah sampai dirumah, aku langsung menuju kamar. Dalam anganku, aku berharap wanita tadi yang berbicaara bersamaku akan jatuh dipelukanku. Hingga suatu saat, setelah aku mengenal dirinya, aku pun memberanikan diri untuk menyatakan perasaan yang sejak pertama melihatnya.

            Saat bel keluar main berbunyi, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya. “Oh ya Chel, aku mau jujur nih!” ucapku deg-degan. “Sejak pertama masuk kelas, aku selalu memperhatikanmu. Saat itu, aku langsung suka sama kamu!” aku semakin gugup untuk mengeluarkan kata-kata. Semua yang telah aku hafal dirumah, kini serasa hilang di telan rasa grogi. Lututku gemetaran, keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Mengungkapkan isi hati kita terhadap seseorang itu memang susah. Namun, aku rasa aku sanggup dan aku bisa. “Chel, mau gak kamu jadi cewek aku?” kata-kata yang keluar dari mulutku ini seakan susah untuk mengeluarkannya.

            “Maksud kamu apasih Leo? Aku gak ngerti!” balasnya dengan polos. Senyumannya semakin membuat aku untuk cepat-cepat memilikinya. Ya, semoga saja bisa terkabulkan.
            “Iya, aku suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?” aku semakin deg-degan dengan balasannya. Berharap cintaku diterima. Aku tahu, dia bukan yang pertama. Namun, aku akan menjadikannya wanita terakhir yang pernah singgah dihatiku.

            Belum sempat wanita itu menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulutku, bel tanda masuk pun berbunyi. Wanita itu langsung berdiri dari duduknya dan meninggalkanku terus berkata “Nanti saja ya!” aku terus menatapnya. Hingga dia masuk kedalam kelas dan aku menyusulnya. Didalam kelas, ketika guru menerangkan pelajaran, aku terus memandanginya. Menatap matanya. Karena dia duduk di depan, aku rada-rada sulit untuk melihatnya. Saat aku memperhatikannya, aku ditegur oleh guru yang berada didalam kelas karena aku tidak memperhatikan pelajarannya. 

             Nah, saat itu aku dipindahkan dari belakang ke depan. Guru tersebut bermaksud supaya aku lebih memperhatikan pelajarannya. Ide bagus. Semakin didepan, semakin leluasa untuk aku melihat Chesil tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku terus memandanginya hingga jam pelajaran guru itu habis. Aku tahu, setelah pulang sekolah nanti masih ada kegiatan yang menanti. Aku telah ditunggu sekitar lima belas menit oleh Pembina OSIS disalah satu ruang belajar untuk mengikuti rapat dan seleksi OSIS baru. Beberapa miscall dari anggota OSIS lainnya telah berserak dilayar HPku. Aku tak menghiraukannya. Sepintas, aku melihat anak yang tadi ku tembak sedang berjalan dengan mantapnya dihadapanku. Aku langsung berlari mendekatinya. Berusaha untuk menjejeri langkahnya. “Hay” panggilku cukup keras.

            Tampaknya Cheryl membisikkan sesuatu ke telinga Chesil. Dan membuat Chesil menoleh ke belakang. Aku memanggilnya sekali lagi. “Hay Chesil…” ujarku sambil melambaikan tangan dan mendekatinya.
            Aku pun berhasil menjejeri langkahnya.. “Kenapa Yo?” tanyanya polos dengan sebuah senyuman manisnya.
            Mungkin ia tidak menyadari maksud kedatanganku. “Gimana?” aku balik bertanya “Ya atau tidak?”
            “Apaan?” dia mulai bingung dengan apa yang kuucapkan.
            “Pertanyaanku tadi? Masih ingat kan?” jelasku kepadanya.
            “Oh, yang tadi. Hmmp, gimana ya?” dia mulai menyadari maksud dari pembicaraanku. Ia merenung. Apa yang harus dijawabnya. Ia harus menentukan jawaban ya atau tidak, karena kesempatan tidak datang dua kali.
            “Bagaimana Chel? Iya atau tidak?” tanyaku semakin deg-degan.

            Belum sempat Chesil membalas, mobil yang biasa menjemputnya berhenti didepan kami. Chesil dan Cheryl bergegas masuk kedalam mobil itu. Saat kakinya melangkah ke dalam mobil, ia berkata “Iya. Aku mau jadi pacar kamu. Sampai ketemu besok!” itulah kata-kata yang aku tunggu selama ini. Dan akhirnya aku bisa menjadi pacarnya.

            Aku juga bergegas mengambil motor mio sporty  yang selalu aku gunakan sebagai alat transportasi ke sekolah. Mengendarai motor dengan perasaan gembira. Aku sangat lega. Ya, harapan ku selama ini. Aku memasuki kawasan perumahan dan beberapa rumah lagi akan sampai dirumah ku. Saat sampai, aku bergegas untuk masuk kedalam kamar. Aku menghempaskan badanku yang sangat lelah setelah beraktifitas disekolah.

            Setelah aku mendapatkan wanita yang selama ini menghilang dari hidupku, aku menjalani aktifitas dengan riang gembira. Mulai dari pergijogging bersamanya, pergi makan, bermain, dan bersuka cita. Namun, semua itu seakan sirna setelah tiga bulan hubungan ini kami jalin. Dibulan ketiga, tepatnya pada saat libur semester aku tidak lagi sering mengontak dia. Seminggu menjelang empat bulan kami jadian, ada-ada saja masalah yang menerpa. Mulai dari digosipin guru yang enggak-enggak sampai orang ketiga.

            Alvin. Ya, dia salah satu sahabat dari Chesil yang sudah akrab dari kelas tujuh. Entah mengapa setiap mereka jalan berdua hatiku merasa sakit. Aku tahu, itu tindakan yang bodoh. Tapi, setiap mereka berbicara tanpa sepengetahuanku, aku merasa sangat cemburu. Padahal Alvin sudah menjadi sahabat dekat ku. Dekat dari pada Chesil.

            Sampai pada suatu saat. Alvin yang tidak mengikuti tambahan pelajaran disekolah pulang kerumah untuk mengambil motornya. Hingga bel pulang berbunyi, Chesil langsung keluar tanpa menungguku. Aku mengambil motor yang terparkir di halaman. Tak sengaja mataku melirik kearah Alvin menghentikan motornya. Disana sangat tampak jelas Chesil naik keatas motor Alvin. Aku membiarkan Chesil pergi bersama Alvin karena aku masih berpikiran positif. Berpikir kalau mereka hanya pergi sebentar. Aku menunggu mereka berdua di depan simpang dekat SMP. Sudah beberapa menit aku menunggu mereka namun mereka tidak muncul juga. Apa yang terjadi dengan mereka berdua?

            Saat aku mulai menggas motorku, Carla yang duduk bersama Pity dan Devi memanggilku dari kejauhan. “Hai Leo. Nunggu siapa?”
Tanpa basa-basi aku kangsung menuju tempat mereka duduk. Menghentikan motorku didepannya. “Ini. Aku nungguin Chesil. Kenapa Car?” balasku sambil turun dari motor dan menghampirinya.
“Aku melihat Chesil pulang bareng Alvin!” sambung Devi. Salah satu teman sekelasku. Ia anak yang pintar dan cantik.
“Iya. Aku juga udah tau kok” balasku datar.
“Oh ya, ada apa hubungan kamu sama Chesil Yo? Kok kalian jarang kelihatan berdua waktu istirahat? Ada masalah ya?” tanya Pity.
“Gak ada kok. Biasa aja. Oh ya, aku pulang dulu ya. Mau belajar dirumah.” Balasku sambil melangkah ke arah dimana motorku diparkirkan. Memasukkan anak kunci dan menstarternya.
Belum sempat mereka menjawabnya, aku telah kabur dari sana. “Eh, kenapa tuh Leo? Tumben-tumbenan gak pulang bareng Chesil.” Tanya Pity ke dua orang teman disampingnya.
“Entahlah. Itu bukan urusan kita. Palingan mereka ada masalah.” Jawab Desi.
“Aku kasihan lihat Leo. Kenapa sih dulu aku mutusin dia?” Carla menyela pembicaraan mereka.
“Yeee, salah kamu juga kali.” Jawab Pity.

***

Dirumah…
            Setibanya di rumah, langsung kulempar tas coklat yang lumayan berat itu. Kulempar dengan penuh emosi ke kasur. Beberapa detik kemudian aku mengambil handphone yang terletak di saku-saku tas yang barusan aku lempar. Aku tengah sibuk mencari nomor HP Alvin dan mengirim sebuah pesan yang kurang sopan.
            Dasar cowok sialan.
            Sahabat yang nikam sahabatnya sendiri dari belakang.
            Tukang ganggu hubungan orang.

            Demikian beberapa SMS yang terlontar dari HPku. Lalu, aku mengajak Alvin untuk ketemuan di rumah Chesil. Untuk menyelesaikan masalah ini. Aku sangat cemburu. Kenapa Chesil pulang bareng Alvin. Sedangkan cowoknya sendiri membawa motor. Iya sih beberapa hari yang lalu aku tidak membawa motor. Namun, kenapa disaat aku membawa motor dia tidak mau pulang bersamaku. Selingkuh secara terang-terangan.

            Sabuah pesan masuk dari Chesil. Berisikan tentang permasalahan tadi. Dan ia tidak bisa ketemuan dirumahnya saat itu. Chesil bilang kalau mau ketemuan di depan sekolah saja. Tanpa komando, aku langsuing cabut dari rumah tanpa mengganti pakaian dan membawa motor secara ugal-ugalan. Enam puluh kilo meter perjam aku membawa motor ditempat yang ramai. Tanpa menghiraukan keselamatan.

            Tidak cukup lima menit aku telah sampai didepan sekolah. Tak ragu lagi kalau Chesil pergi kesana bareng Alvin. Sebelum berangkat dari rumah tadi, aku telah mengirim SMS ke Indra kalau aku juga mau bicara bersamanya. Indra telah tampak bersama Alvin dan Chesil. Aku menyapa Indra tanpa menghiraukan dua orang yang berdiri disamping Indra. “Hay Ndra. Udah lama lo disini?"
            “Baru sampai kok. Ada masalah apa lo sama Chesil Yo?” Indra membuka pembicaraan.
            “Gak ada. Eh, temenin gue kerumah buk Murni dong. Mau ngantarin tugas nih” balasku mengganti topik pembicaraan. Aku tak mau kalau membahas ini didepan Indra.
            “Oke. Tapi, motor gue gak ada. Gue boncengan sama lo aja ya?!” balasnya.
            “Yuk lah. Naik langsung. Gue udah bete disini”
            Indra pun naik keatas motorku. Tanpa basa-basi aku langsung menggas motorku dengan kecepatan maksimum. Indra hampir terlempar dari motorku dan memegang erat besi dibelakang motor. “Lo baik-baik bawa motor dong Yo. Gue kan takut jatuh” ujar Indra dari belakang.

            Aku tak menghiraukan siapa yang bicara dibelakang dan menambah kecepatan motorku. Aku tidak jadi membawa Indra ke rumah buk Murni. Aku hanya membawanya berkeliling komplek sekolah. Selang beberapa menit aku kembali lagi ke tempat Alvin dan Chesil berdiri. Mereka hanya diam tanpa kata.

            Indra turun dari motorku dan pergi menjauh dari hadapan kami bertiga. Menuju beberapa gerombolan cewek dibelakang. Aku melihat Indra bersama ceweknya tengah asyik mengobrol. Entah apa yang dibicarakannya. Aku tak tahu. Sekarang, aku harus menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. “Nah sekarang apa mau kamu?” tanyaku kepada Chesil.

            “Ntahlah. Aku juga udah pusing dengan semua ini. Kamu telah berubah Yo. Aku sudah capek ngejalani hubungan yang tak jelas ini.” Balas Chesil.
            “It’s Okey. Sekarang, kamu pilih aku atau dia?” tanganku menunjuk Alvin yang sedang berdiri kikuk disamping Chesil.
            “Udah lah Chel. Mendingan kalian baikan aja. Aku juga gak mau ngelihat kedua putus” Alvin menambahkan.
            “Gara-gara elo Vin. Hubungan gue jadi hancur.” Nada pembicaraanku mulai meninggi. Aku tak bisa menahan emosi. “Chel, sekarang pilih. Aku atau dia?!” tanyaku sekali lagi dengan lantang.
            “Udahlah. Kenapa jadi pilih-pilihan gini. Mau kamu apa Yo?” balas Chesil.
            “Terserah kamu Chel. Aku juga udah capek. Mulai dari sekarang kita tidak memiliki hubungan khusus. Kita hanya teman. Anggap saja kita gak pernah ngejalin hubungan ini.” Ucapku sambil menggas motor sekencang-kencangnya. Dalam beberapa menit aku sudah sampai saja didepan rumah.

            Setelah beberapa minggu, aku baru tahu kalau Indra telah mengetahui semua ini. Mengetahui kalau Chesil sudah ingin memutuskanku. Tapi, Chesil hanya menunggu aku untuk memutuskannya. Ya, aku sangat marah terhadap Indra. Hingga saat ini, aku tidak lagi berhubungan dengannya. Indra yang awalnya tergabung dalam kelompok dance telah angkat kaki. Nomor HP nya pun telah ku hapus Dari daftar kontak HPku. Dan, Indra telah kuhapus dari daftar teman yang pernah kukenal.
 The End...

Junn Series #4 - Bantuan!

$
0
0
 Oleh : AuL

        Gerombolan penonton di lapangan masih diam, mengunci rapat bibir mereka agar tak mengeluarkan kata sepatahpun. Tak ada yang berani berkedip, apalagi bergerak. Beberapa tubuh mulai basah, bersimbah keringat dipanggang matahari dan suasana tegang yang begitu kentara.

        Junn masih berdiri termangu: menundukkan kepala tak jauh dari Alev dan kawanannya. Peristiwa beberapa menit lalu membuatnya sedikit shock, tak bisa bicara dan tak kuasa bergerak.

      “Bagaimana?” Alev memecah kesunyian.

      Junn masih tak bersuara. Ia berusaha menengadahkan kepalanya, menatap Alev dengan tatapan pantang menyerah. Hal yang semakin menggetarkan hati Alev: Junn begitu berani, mengingat dia hanya junior, apalagi wanita.

      Dan peristiwa berikutnya sangat mengejutkan, membuat tak ada yang bisa menahan diri untuk tidak menjerit atau menarik nafas ketakutan. Junn menggenggam ujung bajunya, bergerak seolah-olah hendak membukanya.
      “KYAAAAA...!!!”
      “Tidak... Jangan...!”
      “Minta maaf saja cepaat!”

      Suasana begitu gaduh, seperti suasana unjuk rasa atau kampanye. Alev berusaha tersenyum, menikmati kemenangannya. Sebentar lagi kubalas, sebentar lagi, sebentar lagi. Pikirnya.

      Junn mulai membuka satu kancing terbawah seragamnya. Kegaduhan melenyap lagi, kembali berganti ketegangan. Beberapa murid laki-laki menutup wajahnya dengan tangan, tak kuasa menyaksikan. Dan dari tengah penonton, Riri roboh: pingsan, untung saja dipapah murid-murid wanita lainnya.
      “Hentikaaaaaaann...!!!”

     Sebuah suara dari pinggir lapangan melengking panjang. Junn melirik asal suara, dan tersenyum kecut – Zhafif mengacungkan telunjuk ke arah Alev, melepaskan sweater yang menutupi mukanya – Mungkin ini yang tadi dimaksud ketua OSIS itu sebagai bantuan?

     Alev membelalakkan matanya. Jauh di lubuk hatinya ia gentar, mengingat jabatan dan kekuasaan Zhafif lebih darinya. Sayangnya, ia terlanjur emosi dan tak bisa berpikir dengan kepala dingin. Ia memanas.
      “Nggak usah sok pahlawan lagi, Zhaf!”

     Zhafif mendekat, “Gue nggak sok pahlawan Lev. Tapi ini emang udah keterlaluan. Sebaiknya hentikan!”
Alev semakin panas. Ingatannya tentang berada di bawah bayang-bayang Zhafif selama ini membuatnya muak. Dan kemuakannya memuncak, “Ini urusan gue, Zhaf! Lo nggak usah ikut campur!”

     Zhafif tak menghiraukan perkataan Alev. Ia meraih lengan baju Junn, lalu menariknya. Membuat Junn terseret, berubah posisi ke belakang Zhafif.

      “Gue ketua OSIS. Dan semua ini termasuk tanggung jawab gue!”
      “Berhenti membanggakan diri sebagai ketua OSIS! Ini nggak ada hubungannya!”
      “Ada!”
      “Lo nggak bisa Zhaf!”
      “Harus bisa!” Zhafif menentang.
 
       Alev tak bisa menahan diri lagi. Sebuah pukulannya melayang, menghantam pipi kiri Zhafif. Zhafif terjatuh, lalu berdiri lagi. Ia masih bisa berpikir, untuk tidak membalas.

       Alev terlihat puas. Kenyataan bahwa Zhafif tak berani membalas pukulannya membuatnya merasa berada di atas angin. “Gue udah bilang Zhaf, ini bukan urusan Lo!”
      “Ini juga urusan Gue!” Zhafif belum menyerah.
       Alev diam, memikirkan strategi apa yang harus dilakukannya agar ia menang. Mendadak ia menyeringai, “Jadi Lo masih mau membela anak baru ini?”
       “Ya”
       “Kalau begitu Lo yang gantikan. Telanjang sekarang juga!”
       
      Alev semakin puas. Biarlah rencananya membalas Junn batal. Yang penting sekarang adalah ketua OSIS yang selama ini meresahkannya itu. Bila Zhafif melakukan hal yang memalukan, bukan tak mungkin semua murid akan marah dan kecewa. Dengan demikian, jabatannya akan dilepas, dan posisinya sebagai ketua OSIS bisa digantikan orang lain, termasuk dirinya!

      Zhafif mulai membuka seragamnya. Penonton kembali gaduh berkomentar tak karuan, walaupun tak segaduh sebelumnya. Paling tidak, Zhafif laki-laki, dan buka baju bukanlah masalah. Daripada Junn yang harus melakukannya.

      Saat Zhafif hendak melepas kaosnya dalamnya, sebuah suara yang berat terdengar dari mikrofon. “Alev, Zhafif dan anggota OSIS lainnya diharap segera menuju ruang OSIS sekarang juga. Ini perintah langsung dari kepala sekolah dan wakil kesiswaan!”

     Tak tergambarkan kelegaan yang terjadi saat Zhafif, Alev dan kawanannya meninggalkan lapangan menuju ruang OSIS. Penonton segera berhamburan ke depan lapangan, menyambut Junn. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan mengucapkan selamat. Sorakan dukungan dan ucapan selamat melimpah ruah, menyirami Junn yang akhirnya bisa ikut tersenyum lega. “Alhamdulillah,” bisiknya.

     Siang semakin panas. Tapi Junn merasakan kesejukan, hingga ke relung hatinya. Ia yakin, Zhafif lah yang mengadukan peristiwa barusan kepada kepala sekolah dan wakil kesiswaan. Bantuan yang dijanjikan untuknya, untuk keselamatannya.

     Ia tersenyum lagi, saat menuju UKS melihat keadaan Riri. Dadanya berdebar-debar, mengingat apa yang telah dilakukan ketua OSIS untuknya. Ketua OSIS yang telah dua kali menyelamatkannya. Dan perasaanya meluap-luap. Ada denganku? Batinnya bingung. 

(Bersambung)


*Telah dimuat di koran SINGGALANG edisi Desember 2010, terbit dan beredar di Sumatra Barat  :))

Kita Masih Teman

$
0
0
Oleh: MRS

            Aku kembali melihat dia di majalah remaja, sebagai model dari penyanyi baru Indonesia. Kemarin aku juga melihat dia di televisi, menyanyi di acara INBOX di SCTV. Aku kenal dia, dia adalah teman SMP ku dulu, Ryan. Memang Ryan pindah ke Jakarta setelah tamat SMP dan melanjutkan sekolahnya disana. Dia adalah teman terbaikku waktu masih di SMP. Beberapa kali ku hubungi nomor handphonenya, tapi selalu saja tidak aktif. Aku berfikiran kalau ia telah mengganti nomor handphonenya.
***
            Senin, 27 September 2010. Aku dan Emma pulang sekolah bersama.
             Aku menceritakan kepada Emma tentang jadi artisnya Ryan, dan ternyata Emma juga mengetahui hal tersebut. Aku, Ryan, dan Emma memang selalu bersama-sama ketika masih SMP, karena selain aku,Emma juga teman akrab Ryan.
            “Joe, kenapa aku tidak bisa menghubunginya??” tanya Emma kepada ku.

            “Entahlah, aku juga tidak bisa menghubunginya, padahal aku kangen dengannya,” jawabku murung.
            Ketika hamper berpisah di antara dua jalur jalan, prcakapan kami berdua akhirnya menuju pada dugaan kalau Ryan memang tak ingat kami lagi. Betapa sedihnya kami jika itu benar-benar faktanya. Dan akhirnya kami berpisah menuju rumah masing-masing dengan tanda tanya besar dihati.

            Selasa, 28 September 2010. Ryan ada di Maninjau!!!
             Mengetahui kabar pulang kampungnya Ryan tersebut, aku Emma, beserta orang-orang yang kenal dengan Ryan beberapa tahun lalu, beramai-ramai datang ke rumah Ryan yang ada di Maninjau ini. Sampai disana, ternyata rumah Ryan telah dipenuhi oleh orang-orang yang kini telah menjadi penggemar Ryan si New Singer. Terlihat Ryan ada di dalam rumahnya yang pintunya terbuka. Spontan semua orang berteriak-teriak memanggil namanya.
            “Ryan..!! Ryan…!! Ini aku…..!!” teriak ku. Tapi ternyata percuma saja, karena semua orang juga meneriaki namanya. Tiba-tiba, tatapan Ryan telah beradu pandang dengan aku dan Emma yang ada di samping ku, ditengah kerumunan masyarakat Maninjau yang inin meliah artis yang berasal dari kampungnya.
            Aku dan Emma berusaha melambaikan tangan, dan aku yakin kalau ia telah melihatnya. Tapi apa yang ku dapat?? Dia malah segera berlalu ke dalam kamar rumahnya tanpa menyapa aku dan Emma. Betapa kagetnya aku dan Emma mengetahui sikap Ryan tersebut. Karena saking marahnya, aku pergi dari halaman rumah sang artis tersebut tanpa berkata apa-apa kepada Emma.
  
            ***

            Rabu, 29 September 2010. Sang artis masih di Maninjau.
                     Aku tidak lagi berniat untuk menemui sang artis karena sikap barunya itu, begitupun Emma. Hari ini, aku sibuk menyiapkan acara ulang tahun sederhana Sweet Seventeen-ku. Karena besoknya adalah hari ulang tahun ku. Berbagai persiapan telah siap untuk dilakukan, sesuai dengan rencana pesta sederhananya. Dalam batinku, aku ingin besok Ryan juga ikut, tapi tak ada gunanya berharap demikian, karena aku tidak yakin akan hal itu. Emma juga tidak menyarankan aku untuk mengundang Ryan dalam pesta sederhana ku. Aku yakin hal tersebut karena Emma juga kurang suka dengan sikap Ryan yang tidak mengacuhkan kami pada hari itu.

           Kamis, 30 September 2010. Di sekolah.
             Aku telah meminta teman-teman dekat ku untuk datang ke acara Sweet Seventeen-ku. Diantaranya, Fatiya, Desi, Ray, Johan, Tio, Dika, Aldi, dan masih banyak lagi. Yang tidak mungkin aku lupakan, Emma. Semuanya telah ku minta untuk datang ke acara Sweet Seventeen-ku yang akan diadakan pada pukul 19.00. Aku telah memberi tahukan kepada mereka semua dimana acaranya akan diadakan, yaitu di belakang rumahku. Karena kebetulan, rumahku terletak ditepian Danau Maninjau.
            Usai magrib, semua telah sangat selesai untuk dilaksanakan. Alat pemanggang, tikar, siroup, gelas dan piring, meja, dan lainnya telah siap pakai. Memang rencana acaranya, kami, aku dan teman-temanku, akan membuat makan pesta sendiri. Kami akan membuat ikan nila pangang dengan resep bumbu dari ibuku, lobster bakar, nasi goreng, jus, dan semuanya sendiri, di tepi Danau Maninjau dengan suasana malam Danau Maninjau yang sangan indah.
            Emma dan beberapa teman cowokku telah duluan datang ke rumahku, ingin Bantu-bantu, kata mereka. Sampai aku dikagetkan oleh sebuah nyanyian selamat ulang tahun dari seseorang di dalam kegelapan, di samping tempat acara. Yang palimg membuat aku kaget, aku kenal suara itu.
            “Happy Birthday to you…….. Happy Birthday to you….. Happy Birthday…….. to… you….,” suara indah yang sangat aku kenal. Ya, itu suara indah Ryan, Ryan sang artis.
            “Ryan??????” sontak, semua teman-temanku langsung berseru, begitupun aku.
            “Panjang umurnya… panjang umurnya serta mulia….,” lanjutnya.
            “Ryan?? Aku kira kau lupa dengan hari ulang tahunku??” tayaku.
            “Tidak mungkin aku lupa, Joe..” jawabnya dengan senyum khas miliknya.
            “Tapi, kenapa waktu itu kau sangat sombong kepada kau dan Emma???” Tanyaku teringat hari ketika ia baru datang ke Maninjau.
            “Maaf, waktu itu aku sedang sedikit demam, jadi semuanya jadi badmood…. Sekalai lagi aku minta maaf, juga pada kamu Emma….” Pintanya pada aku dan Emma yang berdiri disampingku dan teman-temanku.
            “Kami juga minta maaf telah berburuk sangka padamu, Ryan!?” sambung Emma.
            “Untuk apa aku datang ke Maninjau kalau tidak ada teman-teman terbaikku?? Aku pulang karena aku sangat ingat hari ulang tahunmu, dan maaf jika dua tahun lalu aku tidak datang, juga hari ulang tahun Emma?!” jelas Ryan panjang lebar.
            Ternyata, Ryan memang pulang ke Maninjau karena ingin hadir pada ulang tahunku yang ke-17. Dia jauh lebih dewasa dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, ketika kami masih SMP. Begitupun katanya tentang aku dan Emma. Dan pada malam itu aku merayakan hari ulang tahunku yang ke-17 dengan dua orang teman terrrrrbaikku, serta dengan teman-teman sekolahku yang cepat akrab dengan Ryan.
            Selama dua hari, aku, Emma, dan Ryan menghabiskan hari bersama-sama setiap aku dan Emma pulang sekolah. Kami pergi ke Ambun Pagi, Bukittinggi, Ngarai Sianok, serta berbagai tempat lainnya bersama-sama dengan mama dan papa Ryan dengan mobil pribadi milik keluarga Ryan. Sampai hari perpisahan itu datang.

***

            Minggu, 2 Oktober 2010. Ryan kembali ke Jakarta.
             Aku dan Emma telah berada di halaman rumah Ryan. Kami akan melepas Ryan kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat, Ryan berjanji akan datang kembali pada hari ulang tahun Emma yang ke-17, yaitu pada tanggal 24 Februari 2010. Dan ia juga berjanji, ketika libur semester, dia juga akan mengundang kami ke Jakarta untuk liburan serta merayakan hari ulang tahunnya yang ke-17 pada akhir Juli 2010.
            Aku dan Emma tinggal menanti hari yang dijanjikan Ryan. Yang kami yakin Ryan pasti akan menepati janjinya. Sebelum pergi, kami berjanji bersama sambil bersorak : “KITA MASIH TEMAN!!”

Junn Series #5 - Segitiga?

$
0
0
Oleh: AuL

 
    Tiga hari telah berlalu, sejak Junn menginjakkan kaki di SMA Bunga Bangsa. Suka duka perjuangannya di awal bersekolah, sekarang terasa begitu manis. Ia akan merindukannya, ia yakin itu. Yah, akhirnya Masa Orientasi Siswa telah usai.

    Sekarang aku bisa leluasa, piker Junn. Aku tak perlu takut lagi pada apapun – atau pada siapapun – selama tak melakukan kesalahan atau menyiggung orang lain. Aku bisa menimba ilmu lebih tenang, menganyam setiap kenangan dengan lebih tenang, dan merajut masa depan yang lebih baik dengan tenang. Tak ada yang akan bisa menggagguku. Ya, semoga tak ada.
“Junn! Ke kantin yuuk!”

    Riri melambaikan tangan dari pintu kelas. Junn segera membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja, kemudian menyimpannya ke dalam laci. “Let’s go!”

    Hari yang indah. Kapas putih yang bergumpal melayang perlahan di atas sana, merelakan dirinya dibakar si kuning garang. Bahkan suasana sekolah pun juga terasa indah.  Dimana-mana hanya ada senyuman dan wajah ceria. Tak ada lagi ketegangan, ketakutan dan suasana mencekam seperti yang lalu. Yah, semua murid baru termasuk Junn memang mulai bisa menikmati masa SMA sekarang.

    “Hei, Junn!”

    Seseorang menyapa dari belakang. Sebentar Jun merasa sedikit gugup. Tapi segera ditepisnya rasa itu, mengingat statusnya bukan ‘junior’ lagi sekarang.
    “Kakak memanggil saya?” Junn bertanya pelan. Masih terdengar sedikit takut. Ternyata sindrom MOS belum hilang sepenuhnya.

    “Ya.” Jawab Alev. Kemudian ia mendekat.

    Riri meremas lengan baju Junn, dan segera berdiri di belakangnya. Keberaniannya terlalu sedikit. Itupun sekedar mengintip orang yang kemarin menyebabkannya pingsan, dari balik bahu Junn. Kakinya sedikit gemetar, membuatnya mencengkeram Junn semakin kuat. Ia takut ia akan roboh lagi.

    “Ada apa, Kak?”
    Giliran Alev yang kelihatan gugup. Keramahan Junn setelah apa yang terjadi belum bias ia terima begitu saja. Hatinya bergetar lagi, menangkap sifat Junn yang lain: Pemaaf. Bahkan Alev tak yakin bias memaafkan dirinya sendiri, setelah apa yang diperbuatnya.

    “Err, Gue mau minta maaf.” Ujarnya memberanikan diri.
    Senyum Junn mengembang, membuat Alev makin gugup. Riri mulai melepaskan genggamannya, meninggalkan alur kusut di lengan baju Junn
   “Sama-sama. Saya juga minta maaf, karena sudah lancing kemarin,”
   “Gue benar-benar menyesal. Entah setan apa yang merasuki gue kemarin-kemarin, sampai gue setega itu sama Lo dan anak-anak lain.”

   Junn tersenyum lagi, “Dan Kak Zhafif?”
   Alev diam. Rasanya ia belum bias menghapus begitu saja kedengkiannya pada Zhafif. Tapi ia berusaha melakukannya. “Ya, Zhafif juga.”
   “Baguslah kalau begitu,” Ujar Junn sambil menarik lengan Riri untuk segera ke kantin. “Duluan, Kak!”
   “Eh gue…”
   Alev masih mau melanjutkan. Jun berhenti melangkah. “Ada apa lagi ya, Kak?”

    Alev menarik nafas, dalam. Lalu ia bertepuk tangan. “Di sana!” Ujarnya sambil menunjuk lapangan basket.
Junn menoleh. Beberapa murid berpakaian Cheers berdiri dalam barisan, masing-masing memegang sebuah karton. Sambil berteriak, mereka membalikkan dan mengangkat kartonnya. Beberapa huruf besar muncul, yang bila dieja berbunyi I LOVE YOU.

    Junn terbelalak, mukanya merah – malu. Riri malah menutup sebagian wajahnya sendiri dengan tangan: Semakin yakin ia akan roboh. Tapi agaknya bukan karena takut, melainkan karena shock atas adegan barusan. Dan Alev, di hadapan mereka tersenyum. Senyum tulus yang sejak pertemuan pertamanya dengan Junn tak pernah ia sunggingkan. Dan menurut hemat Riri, entah kenapa dengan senyum itu Alev terlihat tampan.

    “Sa… Saya…” Junn tergagap. Perasaannya campur aduk antara heran, bingung dan sedikit – senang. Semuanya terasa kacau dan serba tak nyaman, seperti bayi yang buang air besar di dalam popok. Dan semuanya terasa serba panas, membuat Junn dan bajunya basah berkeringat.
“Gak perlu jawab sekarang,” Alev berbisik. “Kapan-kapan aja, kalau udah siap. Gue bersedia nunggu.”
Sementara gadis-gadis Cheers di lapangan basket mulai bernyanyi. Lagu cinta! Dan beberapa siswa di sekitar lapangan bersorak riuh rendah, bersuit-suit dan meledek.

    Junn salah tingkah. Dadanya berdebar lebih cepat. Mungkinkah ia juga suka pada Alev? Bagaimana dengan perasaan aneh yang ia rasakan untuk Zhafif? Junn menunduk, stress dengan pikirannya sendiri.
Sementara itu, di kelas lain tak jauh dari sana, Zhafif meninju dinding hingga tangannya memerah. “Awas Lo, Alev” Bisiknya tanpa melepas pandangan dari lapangan.


TAMAT

(Cerita serial ini telah dimuat juga di Harian Singgalang edisi Desember 2010 - Januari 2011
Terbit dan beredar di Sumatra barat - sekitarnya.)

Lelaki Sipit, Tanpamu Aku Kaya

$
0
0


     Hari ini kulepaskan kau dari hatiku. Kulepaskan juga serpihan-serpihan memori tentangmu yang menyangkut di kepala agar kepala ini mampu kutengadahkan untuk menatap langit biru dan abu-abu. Setelah bahasaku yang terlalu sulit kau pahami juga ketidakpahamanku yang berasal dari kebodohan.

3 tahun yang lalu. Sejak hari perkenalan dalam sebuah training untuk mahasiswa baru dari seluruh fakultas yang berlangsung di luar kota mulai tercipta deburan rasa di dasar hati. Baru satu hari aku mengikuti training, aku sudah terkagum-kagum padamu. Kau yang begitu kharismatik dengan kemeja hijau toska dan celana gunung coklat muda menjadi moderator dihampir setiap sesi acara. Lelaki berwajah oriental, kulit putih dengan mata sipit.
Kehidupan berlanjut, kususuri lorong-lorong kampus. Kunikmati status baru sebagai seorang mahasiswa. Hingga beberapa minggu kemudian di sebuah siang mataku tertumbuk pada sosokmu di kejauhan. Si misterius bermata sipit dan berkemeja hijau toska. Jantungku berdegup kencang, meletup-letup. Haiyaaa…rupanya kita seatap, menimba ilmu di kampus yang sama. Tuhan, ini anugerah terindah, hehe…

Musim berganti, akhirnya rangkaian aktivitas telah mengakrabkan kita. Statusmu sebagai ketua dan aku berstatus magang di organisasi yang sama. Hingga membuat wajahmu kian sering tertinggal di hati. Degup jantungku masih sama tiap kali ketemu. Sejuta perasaan menghampiri. Perasaan fantastik dari seorang yang sedang jatuh cinta dan hatiku seolah di penuhi bunga-bunga dari syurga.

Aku jadi getol menunggumu lewat di depan ruang kuliah. Saat kau lewat, di mataku kau tampak seperti artis Shahrul Khan yang bermata sipit dan berkulit putih. Walau kadang-kadang aku kesal. Aku berfikir kau terlalu sombong dan cuek. Ah, nyebelin deh pokoknya. Kau tak berani menatapku yang cengengesan dan didera salah tingkah. Kau hanya menunduk ketika suatu kali kita membicarakan rangkaian agenda acara. Apa yang kau cari di lantai? Huh Sipit, please deh, aku tak sedang menjatuhkan uang.

Asal kamu tahu saja ya, kau telah membuatku jatuh miskin. Inilah rasionalisasi dengan logika. Betapa tidak, wajahku jadi miskin senyum. Ada hari-hariku diliput cemburu saat melihatmu terlihat akrab dengan teman wanita yang lain. Tak hanya itu, terlalu banyak mengingatmu menyebabkan timbul penyakit Short-Term-Memory, lupa sesaat dan hilang konsentrasi. Wajahmu membayang, mata sipit tersenyum manis mencengkeram hati. Kau hadir di langit kamarku, di bukuku, disetiap waktu ketika aku sendiri. Sedang untuk mengatakan rasa ini, aku terlalu takut. Kekonyolan yang kutelan mentah-mentah.

Kini, kulepaskan kau dari hatiku. Aku sudah hidup dalam atmosfir positif. Aku sudah lebih bijak menilai pengalaman ini. Kadangkala ada masa membawa ingatanku padamu, di detik itu pula aku pun bernyanyi dengan nada sesuka hati lagu Firman berjudul “Kehilangan” yang sudah kuubah beberapa liriknya seperti “aku gila” menjadi “aku kaya”, hehe..

sejujurnya aku bisa
hidup tanpa ada kamu aku kaya
seandainya kamu bisa
mengulang kembali lagi cinta kita
akan kusia-siakan kamu lagi
na..na..na..

Nelangsa banget? Tidak! Meski pernah ada air mata yang jatuh sarat dengan penyesalan. Tapi coba perhatikan wajah dengan senyum sumringah ini. Tak ada dendam sedikitpun padamu. Betapapun rasa mencintai itu indah. Meski tak langsung, darimu lah aku belajar untuk lebih mencintai Nya. Kutemukan secercah cahaya. Aku pun mulai belajar mencintai dengan perasaan tak lebih pada segala hal yang tak abadi. Agar tak ada rasa kehilangan yang mendalam saat harus melepas segalanya.


Pontianak,
Ketika berulang-ulang Firman melantunkan “Kehilangan” dan aku melantunkan “Kulepaskan”
(Kisah seorang sahabat)

Yogie And The Shiny Land - Part #1 Bingung!

$
0
0
 Oleh: Aul



Yogie terbangun. Cahaya matahari menyilau, membuatnya mengerjapkan mata. Sekali-dua kali-tiga kali. Dan apa yang ia lihat di hadapannya tak bisa ia percaya. Ia coba mencubit pipinya. Sekali-dua kali-tiga kali. Hingga pipinya memerah. Dan yang ia lihat di hadapannya belum juga hilang.
            Ini bukan kamarnya! Kamarnya hanyalah sebuah ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan sedikit barang-barang : lemari penuh baju-baju dan celana keren, meja belajar yang di atasnya ensiklopedia, kamus, komputer, kamera dan mini DVD. Di kamarnya juga ada meja dengan laci penuh mainan. Ketapel, teropong, tambang, kaca pembesar, gas tidur, kotak P3K, kotak bahan-bahan kimia dan sebuah buku catatan. Yogie memang gemar film, game berikut pernak-pernik yang berbau RPG atau petualangan.
 
            Dan yang ia lihat sekarang adalah sebuah ruangan tua yang penuh debu. Seperti bangunan tua di zaman perang. Dinding-dindingnya terlihat begitu lapuk, penuh retakan dan berlumut. Tidak ada benda apapun di ruangan itu selain sebuah meja yang juga terlihat sangat rapuh dan kuno.
            “Krriiiietttt…”
            Terdengar bunyi berderit – Seperti pintu yang berkarat, yang dibuka setelah ratusan tahun – menggema di seluruh ruangan. Bulu kuduk Yogie berdiri. Di tempat yang sungguh asing ini, siapa yang mungkin tidak asing baginya? Secara spontan ia pun bersembunyi di belakang meja.
            “Tap… tap…”
            Terdengar suara langkah, mendekat. Sebentar hening, tak ada tanda-tanda apapun yang terdengar. Namun akhirnya langkah-langkah itu terdengar menjauh. Menyisakan kelegaan di dada Yogie, yang tadi sempat sesak karena debaran tak karuan.
            Ya ampun! Di mana ia sekarang? Yogie bertanya dalam hatinya, bingung. Sambil memejamkan mata, ia mencoba mengingat, bagaimana ia bisa berada di sini. Dan detik selanjutnya, ia terkejut. Ia tak ingat apapun selain namanya dan kamarnya! Aduhh… ini apa-apaan?
            Segera, ia berdiri. Dengan sedikit harapan, berjalan mondar-mandir mencoba mengingat segalanya. Segalanya! Keluarganya, rumahnya, dan... Jantung Yogie berdebar keras. Ia ingat dua hal lagi selain namanya dan kamarnya: Ciara! Gadis centil dan angkuh yang ia sukai! Dan ia juga ingat Hanna, sahabatnya!
            Well, kau memang tak bisa melupakan seseorang yang kau suka. Kau mungkin akan mengingatnya sepanjang waktu. Dari bangun pagi, hingga malam hari, dalam mimpi, hingga pagi lagi. Sayangnya, hal itu tak dibutuhkan Yogie sekarang. Ia ingin mengingat hal-hal lain yang lebih berguna. Bagaimana bisa ia tba-tiba berada di sini? Dan… dimana ini…?
            “GRUMMPI…. GRUMPIII…!!!”
            Tiba-tiba seekor hewan melompat-lompat, masuk dari liang pintu yang sedikit terbuka. Yogie yakin, hewan yang kini melompat-lompat kegirangan di hadapannya bukan kelinci atau kangguru. Ini adalah hewan yang belum pernah ia lihat sebelumnya!
            Hewan yang cantik. Ukurannya tak lebih besar dari seekor kelinci. Bulunya sebiru langit sore, kelihatan sangat lembut – seperti bulu rubah salju, atau bulu-bulu sintesis yang dikenakan wanita-wanita kaya eropa di leher mereka – dan terang tertimpa cahaya. Sesuatu yang menurut Yogie adalah sepasang telinga, bergelung dan melengkung indah ke atas kepalanya. Benda berkilauan seperti berlian menghiasi dahi dan ekornya. Hewan ini agaknya tidak memiliki kaki, karena ia melompat-lompat dan bergerak ke sana-kemari dengan ekor spiralnya. Dan sebelum Yogie membelainya, ia baru sadar hewan ini juga memiliki sepasang sayap kecil.
            “GRUMMPI…. GRUMPIII…!!!”
            Hewan itu bersuara sambil memejamkan mata. Kelihatannya ia senang saat Yogie membelai kepalanya. Aneh sekali hewan ini, pikir Yogie takjub. Seumur hidupnya, baru pertama kali ia melihat makhluk seperti ini. Tentunya ini makhluk langka bukan?
            “Siapa Kamu, barraa!!”
            Tiba-tiba sebuah suara menyusul langkah-langkah kaki mendekat. Pintu terkuak dengan derit yang memilukan. Seorang gadis muncul, menatap Yogie penuh curiga. Ia mengenakan pakaian yang sungguh aneh – Seperti pakaian para dewi di buku-buku cerita tentang mitologi yunani – berwarna hijau keemasan. Rambutnya dihiasi batu zamrud yang dililit tanaman sulur. Tangannya menggenggam panah hijau tua, dan di belakangnya melompat-lompat seekor hewan yang mirip dengan makhluk biru yang baru saja ditemukan Yogie. Namun, yang berada bersama gadis itu berwarna coklat muda. Seperti warna hamster.
            “Aku… aku… Yogie.”
            Yogie mengamati gadis yang berdiri tak jauh darinya. Seketika, terkejutlah ia. Gadis itu mirip sekali dengan Hanna!
            “Ha… Hanna…??” Yogie mencoba memanggil.
            Gadis itu melepas sebuah anak panah, ke arah lengan Yogie. Untung saja, makhluk biru yang duduk bersamanya menubruk tubuhnya ke lantai, membuat anak panah yang tertuju padanya meleset menghantam dinding.
            “Heii…! Aku bukan orang jahaat!!” Teriak Yogie dengan nafas tersengal. Nyaris saja lengannya terluka. Gadis di hadapannya tenyata bukan Hanna. Hanya mirip.
            “Sepertinya begitu, barra. Mustahil seekor Grumpie mendekati orang yang jahat, barra,” Ujarnya.
            “Grumpie…?” Yogie kebingungan. “Maksudmu makhluk ini?” Yogie menunjuk makhluk biru yang kini duduk di pangkuannya.
            Gadis itu diam saja. Ia mengamati Yogie dengan seksama. Sejenak disimpannya panah di tangannya ke dalam sebuah keranjang yang penuh dengan buah stroberi. Dan ia menghampiri Yogie.
            “Kau pasti bukan penghuni Shiny Land, barra! Hanya orang asing yang tidak tahu Grumpie, barra! Darimana kau datang, barra?”
            Yogie menunduk, “Aku tidak ingat apapun…”
            Gadis itu semakin mendekat. Ia mengulurkan telunjuknya, menyentuh kepala Yogie. “Kau tidak bohong, barra!” Ujarnya. “Ayo, ikut aku, barra!”
            “Kemana?”
            “Yang pasti kita tak bisa di sini, barra! Aku takut akan datang….”

            “DHHUUAARRR!!!!”

            Tiba-tiba sebuah ledakan menghancurkan dinding di belakang gadis itu, membuatnya terpental ke arah Yogie. Ledakan demi ledakan akhirnya datang, menghancurkan satu demi satu dinding yang ada.
            “Ada apa ini…?” Pekik Yogie, Panik.
(Bersambung)


Follow Aul On twitter

Kamu Bahagia?

$
0
0
 Oleh: Riz Raharyan


             KLIK !
“Dapat!” gumamku kecil sembari tersenyum puas. Sesosok wanita anggun, tengah duduk menatap matahari yang sedang menjejaki garis-garis carikan awan kelabu yang terajut di atas langit secara perlahan sebelum akhirnya ia bunuh diri dan masuk dalam lembah sunyi. Senyum cantik wanita itu, ditambah keindahan senja yang mencakar langit-langit, menguraikan cahaya biru bergradasi oranye membentuk sesuatu yang aku sebut dengan SEMPURNA. Ya, sempurna. Dan semuanya terbingkai di kamera kesayanganku.

Aku menghampirinya. Dengan halus lengan-lenganku mulai merangkul indah tubuhnya dari belakang, menikmati setiap jengkal wajahnya yang cantik terutama matanya yang menawan dengan tatapan yang membintang.
“Indah ya, Sayang?” Kataku memecah keheningan.
Ia hanya mengangguk tanda mengiyakan, tak berucap, sepatah katapun tidak. Ia masih mengagumi lukisan Tuhan yang tergelar dihadapannya.
“Kamu bahagia?” Kataku, sembari sesekali mencium aroma rambutnya yang mulai menyerbak dibawa angin senja yang berlari-lari.
Lagi-lagi ia tak menjawab, hanya mengangguk saja. Sikapnya yang diam seperti itu terkadang membuatku kesal, namun setelah melihat wajah cantiknya dengan sendirinya kesal itu akan mereda, kabur dibawa angin senja, di telan gelombang lautan hingga terkubur di pasir pantai yang terdalam.
Untuk beberapa detik aku mempererat pelukanku, begitupun dia semakin menikmati kehangatannya. Tak lama aku melepaskan pelukanku, dan berpindah kehadapannya. Dengan segenap keberanian aku mencoba mengikuti adegan-adegan film romantis saat si pria ingin mencoba melamar wanitanya, si pria mengambil sebuah kotak kecil dari dalam sakunya, bersimpuh dihadapan sang wanita dengan satu tangan memegang kotak dan tangan lain memegang tangan wanitanya lalu mengatakan kalimat-kalimat ajaibnya. Namun belum aku memulai kalimat-kalimat itu, rasa gugup dengan cepat menyelinap ke otakku, menghancurkan konsentrasiku dan membuyarkan keberanianku. Wajahku memerah, ucapku terbata-bata. Ya Tuhan, aku gugup, sungguh gugup. Batinku.
Tiba-tiba saja aku bingung, skenario yang telah kuhafalkan mulai melunturkan dirinya dari ingatanku. Sekarang apa yang harus aku katakan? Apa aku akan berkata “sayang, apabila kau jadi bulan aku akan jadi bintangnya, dan kalau aku jadi kumbang, apa kau mau jadi kembangnya?” Yang benar saja ! Aku tidak mau menghidupi cinta ala supir dan pembantu yang terlalu banyak mengkonsumsi sinetron-sinetron dan lagu-lagu melayu yang penuh rayu, aku ingin lebih dari sekedar cinta seekor kumbang ataupun sebuah bulan dan bintang, apalagi cinta seekor kumbang yang berada di bulan, pasti akan aneh jadinya. Otakku mencari-cari keberanian, hatiku sibuk merangkai kalimat-kalimat yang tak sengaja kulunturkan. Aku gugup, kegugupan yang tiada tara.
Aku memperhatikan wajah wanita itu, sejenak ia terpaku, warna matanya mengisyaratkan perasaan kaget dan bahagia yang bercampur-campur tak karuan. Selang beberapa detik, wajahnya yang merah mulai melembut, sinar matanya yang menawan mulai meneduh, lekuk bibirnya yang indah mulai melengkungkan pelangi. Kecantikannya tak berkurang sedikitpun bahkan melebihi yang tadi. Aku yakin, kalau aku bertanya sekarang apa dia bahagia atau tidak pasti ia akan menjawab “iya, melebihi apapun”.
Tiba-tiba saja keberanianku muncul, dan kepercayaan diri mulai menyebar keseluruh penjuru tubuhku. Aku rasa inilah saatnya.
“Intan…” ucapku memulai segalanya. Semuanya kututurkan. Ya, semuanya bahkan tanpa skenario. Semua argumen, perasaan, komitmen serta kalimat-kalimat indah mengalir lembut dari mulutku ke telinganya dengan penuh ketegasan, keyakinan dan kejujuran. Senja itu menjadi indah, lebih dari apapun.
“Kamu mau.. jadi… pendamping hidupku?” kataku dengan tergagap-gagap, sungguh kata-kata yang norak. Bulan yang tengah bersembunyi dirajutan carikan awan putih yang terputus-putus itu ikut berdebar-debar, ia menutup matanya dengan bintang-gemintang. Begitu pula lautan seakan menjadi diam untuk sejenak menunggu Intan menjawab lamaranku.
“Aku…” ucap Intan perlahan
Iya, Iya, Iya. Batinku terus menerus. Dan…
KRRIIIIIINGGG ! KRRIIIINGG !
Sebuah suara yang selalu kubenci membangunkanku.

***

Pukul 05.47
Langit yang masih akrab dengan kegelapan mulai dilahap cahaya biru yang dihempaskan matahari setelah sebelumnya baru saja membuka selimut-selimut awannya. Gunung-gunung yang menjulang di langit timur mulai menatapi bayangannya sendiri, mereka menjadi sketsa betapa indahnya langit hitam bergradasi biru itu. Udara yang berhembus masih lembut, masih segar, belum terbujuk debu dan terhasut polusi hanya beriringan dengan partikel-partikel cinta dari makhluk-makhluk berjiwa saja. Mereka lalu lalang, menyapukan semua mimpi-mimpiku yang berserakan.
Astaga, hanya mimpi. Hanya mimpi dan selalu mimpi. Andaikan aku bisa melamar Intan secaranya nyata. Aku membatin tak karuan dengan nyawa-nyawa yang masih berlarian.
“Eh sekarang tanggal berapa?” Ucapku dengan nada yang meninggi, aku terbangun dari posisi tidurku dengan tiba-tiba seraya melihat ke kalender tahunan yang telah usang.
Aku tersenyum puas mendapati 2 Juni adalah tanggal hari ini. Ya, itu berarti aku akan bertemu Intan hari ini, wanita yang telah menjadi pacarku selama bertahun-tahun, namun tak sekalipun aku berani melamarnya, hanya dalam bunga-bunga tidur saja aku bisa mengungkapkannya dengan ketegasan penuh kelaki-lakian.
Ah apa peduliku dengan masa lalu itu? Lagipula hari ini aku memang berniat melamarnya, bahkan telah kubuat skenarionya berminggu-minggu lalu agar aku tak tergagap-gagap seperti yang selalu aku mimpikan. Ya, rencananya sama persis seperti yang ada dalam mimpiku kecuali saat aku tergagap-gagap dan alarm berbunyi memotong jawabannya. Aku harap dengan wajahnya yang memerah tersipu malu ia akan berkata IYA. Iya semoga saja.
Aku rasa aku harus latihan lagi.

***
Pukul 15.23

          Kurang lebih hanya tinggal satu setengah jam lagi sebelum kita bertemu, dan disini, di depan lemari yang telah kubongkar aku masih terduduk kebingungan. Sudah satu jam lebih aku mencari-cari pakaian yang cocok, namun tak satupun aku temukan.
          Ah belum lagi aku harus ke toko cincin pengambil pesananku, bisa-bisa aku telat. Akhirnya aku menjatuhkan pilihanku pada sebuah kemeja abu-abu cerah lengan panjang yang akan kulipat sampai siku, dan sebuah jeans panjang berwarna hitam, ditambah sebuah sepatu hitam dengan garis putih. Aku harap dia menyukai pakaianku.
Aku bisa telat, aku harus bergegas ke toko cincin.

***

Pukul 16.54
5 Menit lagi? Sialan! Aku telat ! Kalau saja kemarin ban motorku tidak bocor, pasti sekarang ini aku tidak perlu menaiki angkot reyot yang lajunya lambat ini dan tak perlu juga aku terjebak dalam macet seperti ini ! Ya Tuhan… ! Ah sia-sia saja aku mengeluh.
“Kiri !” Teriakku dengan terburu-buru seraya menyerahkan uang kepada supir yang duduk di sebelahku , aku pun segera menuruni angkot. Ku gerakkan kaki-kakiku menembus udara-udara yang menyesakkan, aku tidak peduli dengan apapun saat ini, bahkan jika penampilanku jadi hancur dan urakan karena berlari-lari ditengah polusi manusia ini, lagipula yang terpenting bukan penampilanku dalam berpakaian tapi penampilanku saat pelamaran. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah wanita itu, dan sebuah kotak cincin yang telah kuambil setengah jam yang lalu, semuanya kugenggam erat agar tak lepas.
Dari seberang sebuah toserba aku menyebrang jalan dengan terburu-buru, dengan pikiran kosong melayang-layang ke wanita itu, hingga tanpa sadar sebuah mobil melaju cepat menyongsong ke arahku. Terlalu cepat, dan terlalu tepat arahnya untuk bisa ku hindari.
BRUK ! Sekilas saja tubuhku dengan mobil itu bertabrakan hingga menimbulkan suara yang menarik perhatian orang-orang, bersamaan itu tubuhku pun melayang sampai akhirnya tubuhku yang bertutupkan kemeja abu-abu bernoda darah itu pun runtuh, ambruk dan mati rasa. Mata ku terpejam, tak sadarkan diri.

***

Pukul 17.29
 “Awas ! Awas !”
Berisik ! Apa orang-orang tidak sadar aku sedang tidur seperti ini? Hei tapi dimana ini? Kenapa kamarku seakan penuh? Apa kamarku pindah ke tengah pasar? Atau di kamarku ada sebuah pasar?
“Dia sadar ! Dia sadar !” teriak salah seorang wanita di sampingku.
Samar-samar terlihat orang-orang yang mengerumuniku, ada yang wajahnya panik, iba, dan lain-lain. Aku tak memperdulikannya, tak ada wajah yang ingin kulihat disana.
“Cepat panggil ambulan !”
Hah? Ambulan? Apa maksudnya? Bukankah sekarang aku sedang tertidur nyenyak di kasurku yang empuk? Apa aku tadi tertabrak ya? Yang benar saja ! Bagaimana janjiku dengan Intan? Apa yang harus aku katakan?
Aku membuka mata lalu melirik jam tanganku, sebuah jarum pendek menunjuk ke angka 5, lalu sebuah jarum panjang besar menunjung ke angka 6 sedangkan sebuah jarum lainnya berlarian entah kemana, tak bisa diam.
“Aku telat” gumamku kecil, aku menengadahkan kepalaku, memandang ke langit biru yang mulai bergradasi oranye, sepoi angin berhembus lembut mengusap permukaan wajahku yang penuh luka. Pemandangan ini persis seperti yang aku rasakan dalam mimpi.
Dengan tenaga yang tersisa aku mencoba merogoh saku celanaku, mengambil handphone dan sebuah kotak cincin. Orang-orang melihatku dengan heran. Aku mencoba menggerakkan jari-jariku, mengetik huruf demi huruf hingga menjadi sebuah kata, mengetik kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat, mengetik kalimat demi kalimat hingga menjadi sebuah maaf. Dan selesai.
Send?
Ah aku merasa lemas, tanganku mati rasa, tak bisa kugerakkan lagi tapi aku harus mengirimnya.
BRUK..
Suara apa itu? Seperti sebuah hp yang jatuh, atau tanganku? Argh… Ya Tuhan… badanku lemas sekali, tolong aku harus bertemu dengannya ya Tuhan.
Mataku terpejam, suara-suara tak lagi ku dengar.

***

Pukul 18.06
Sesosok wanita cantik berperawakan tinggi dan berkulit putih tengah terduduk memeluk lutut di atas permukaan pasir, sembari sesekali mengusap pipinya yang mulai banjir oleh hujan dari awan di matanya yang pecah. Dress putih yang membalutnya semakin menambah keindahan lekuk tubuhnya. Ya, tak sedikitpun kecantikannya berkurang.
“Dika kemana sih?” batinnya. Sudah satu jam lewat dari janji mereka bertemu. Matahari sudah menyembunyikan dirinya dari kegelapan. Namun tak sedikitpun ia meninggalkan tempat itu, Ia yakin Dika pasti akan datang. Kegelisahan mulai tampak di sela-sela wajahnya. Keningnya berkerut, seraya melihat jam yang tertera di ponselnya. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.
“Hai sayang… “
“Dika?” wanita itu langsung membalikan badannya, berharap ia tak salah dengar.
Kosong. Tak ada seorang pun yang dia lihat.
Dika.. kamu kemana? Aku takut, aku kedinginan disini sendiri, kamu bakal dateng kan? Kamu ngga akan ngecewain aku kan? Batin wanita itu terus menerus.
Drrrrtt…. Handphone Intan bergetar, tanda sebuah sms masuk.
From : Dika
“Sms dari Dika? Dia kemana sih …” gumamnya kesal, namun dengan semangat ia membuka sms-nya dengan sesekali mengusap air matanya.
“Hei sayang, kamu lama nunggu ya? Maaf,kayanya aku ngga bisa dateng, iya  tiba-tiba aja aku harus pergi ke suatu tempat, mendadak.
Sekali lagi maaf ya sayang, aku harap beribu maafku bisa ngemaafin satu kesalahanku ini, seperti halnya satu maafmu yang selalu bisa ngemaafin beribu kesalahanmu, meskipun aku rasa kamu ngga pernah berbuat salah. Dan pacarku sayang, aku harap sesudah ini cinta kamu ke aku masih sama, seperti halnya cintaku ke kamu yang ngga akan berubah. Dari pacarmu, yang masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. P.S. Maaf, aku ngga bisa ngebahagiain kamu”  
“Ngga kok sayaang… Aku…” Secercah awan pun pecah dimatanya yang menawan. Matanya berkaca-kaca tak karuan, beribu hal buruk terlintas dibenaknya.
           “Aku Bahagia. Iya.. melebihi apa pun”

Cinta Sesaat

$
0
0
Oleh: Azizah


Cinta begitu sulit untuk diartikan, terkadang kita tidak bisa mengartikan getaran yang kita rasakan adalah cinta atau hanya rasa sayang yang berlebihan karena adanya kedekatan. sebenarnya tak ada yang salah dengan perasaan yang mulai aku rasakan pada salah satu teman sekelasku, aku hanya merasa nyaman berada dekatnya, aman disampingnya, senang bila ada yang menyebut namanya dan masih banyak lagi perasaan-perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. tapi yang jadi masalah adalah apakah semua perasaan yang aku rasakan itu cinta ?

ahh.. aku lelah memikirkan itu. kubiarkan perasaan itu bersemayam  berharap perasaan itu hanya perasaan yang aku anggap lebih karena akhir-akhir ini aku memang dekat dengannya.

        “heii...duduk sesuai kelompok !!” seru joni si ketua kelas yang baru masuk kelas sambil membawa setumpuk photocopian. bel masuk baru saja berbunyi, dan aku menegang saat itu juga. 

        Ahh.. aku benci keadaan ini, jantungku mulai berdebar tak karuan. dan sedetik kemudian debaran itu semakin kencang begitu seseorang yang aku maksud di awal muncul dari balik pintu. Reza berjalan pelan dengan senyum yang... ‘ya tuhannn.. manis banget !! aku tersentak mendengar jeritan hatiku barusan, tak bisa kuhindari bayangan Rama pun berkelebat di otakku. tidak-tidak tanpa sadar aku menggeleng cepat
        “kenapa ?” aku tersadar dari pikiranku, suara halus itu. yaa.. cowok itu sudah berdiri di sisi mejaku, menatapku dengan heran “aku nggak boleh duduk di sini ?”
      “hah ?” aku melongok “enggak-enggak, duduk aja kali” aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku-bukuku, tak berani menatapnya yang mungkin juga sedang menatapku. fiuhhh... aku terlalu GR, ternyata dia sedang sibuk dengan dunianya, memutar-mutar benda kubus warna-warni yang entah siapa memberinya nama rubik.

.........................................................


           Tugas kelompok yang tak habis-habisnya juga memaksaku harus banyak menghabiskan waktu dengan Reza, ehh... meski nggak berdua sih, masih ada yang lainnya juga. akupun tak menyadari kalau aku hampir saja melupakan seseorang yang tak semestinya aku lupakan. Rama, siang ini ia bela-belain izin pulang cepet dan menungguku di gerbang sekolah. ia memohon kepadaku untuk tidak ikut kerja kelompok siang ini saja. bahkan ia bersikeras untuk memintakkan aku izin kepada Riyan ketua kelompokku.
        “Ayolah Sil..siang ini aja, janji !!” Rama menatapku dengan tatapan memelas. ya tuhann.. jahatnya aku, sampai-sampai pacarku sendiripun harus memohon untuk waktuku. sesibuk itukah aku sampai-sampai aku melupakan cowok ini ?. mata elang itu masih menatapku, aku makin nelangsa saja dibuatnya.
        “Oke..” aku mengangguk “ntar aku minta izin sama Riyan”  senyum Rama pun langsung sumbringah.

.........................................................

        Reza meraih tanganku, sudah dari beberapa detik yang lalu ia berjongkok di depanku. dan seperti biasa jantungku bergemuruh ria. aku hanya berharap Reza sama sekali tak mendengarnya.
        
        “Mau nggak jadi cewek gw ?” ucapnya lirih
        DEG...!! 
        Aku kaget luar biasa, mataku terbelalak sementara mulutku ternganga. benarkah yang kudengar barusan ? Reza menyatakan cinta padaku ? jadi... selama ini Reza juga merasakan hal yang sama seperti aku ? aku sama sekali tak mempercayai ini. lagi-lagi bayangan Rama berkelebat di otakkku. Aku pasti akan mengatakan ‘Kamu serius ?’ kalau saja sebuah suara melengking hebat memanggil namaku
        “SILVIAAA.....!!!” aku terperanjat mendengar seruan keras tersebut. hah ? Riyan ? kok riyan dan yang lainnya ada di sini ? gawat.. apa mereka liat kejadian barusan ? mampus deh gw 
        “Di dalam naskah, nggak ada adegan melongok-melongok begok kayak gitu dehh...” omel Riyan kesal, sambil mengacung-acungkan gulungan naskah.
        Fiiuhhh....tanpa sadar aku menghela nafas berat dan panjang, ternyata hanya bhongan, hanya acting !! ada sepercik kekecewaan yang masuk ke relung hatiku. bodohnya aku.. sampai-sampai aku tak sadar kalau detik ini aku sedang latihan drama.
        “Sory...sory...aku lupa dialognyakilahku sambil menyeringai lebar menyambut tatapan gemas Riyan, Dina, Sofi, Wulan terutama Reza. sumpah deh.. aku nggak bisa ngebayangin gimana konyolnya ekspresiku beberapa detik yg lalu.. fiuhh lagi-lagi aku menghela nafas.

........................................................

         “Jadi udah selesai nih ?” tanya Rama lirih, tapi tetap dengan senyuman. pekerjaan kelompokku sudah selesai 2 minggu yang lalu, tapi aku baru punya waktu buat Rama siang ini.
        “iya, maaf ya aku baru punya waktu sekarang” aku menatap Rama lekat-lekat. Oh.. tuhan, betapa baik dan pengertiannya cowok ini, ia begitu mengerti keadaanku.
        “nggak apa-apa kok, dulu.. aku waktu baru-baru SMA juga kayak gitu.” Rama tersenyum lebar. “Oh iya, nihh.. hampir aja lupa” ujarnya lagi, sambil menyodorkan kantong plastik putih “aku beliin 2 lusin sekalian, pasti kamu belum pernah sempet beli” 
        Tuhh... betul kan ? Rama emang pacar yang baik, perhatian lagi !! buktinya cowok ini tau, kalo aku lagi pengen banget makan kue yang di tengahnya bolong ini.
        “Asyiiikkk...!!” seruku senang, aku lalu meraih satu buah Donat yg berlapis chochocrunch renyah. dan dalam hitungan detik Donat itu lenyap. hmmm... yummyy...
        “Enak ya Sil ?” tanya Rama yang memperhatikanku yang makan dengan lahap, aku mengangguk cepat. di depan Rama, aku memang nggak pernah jaim. tapi anehnya, Rama nggak pernah ilfeel sama aku. makanya itu, Rama perfect banget deh jadi cowok. tapi ya itu masalahnya.. aku susah banget menyangkal, kalo setengah hatiku sudah dicuri cowok lain,,, aku harus gimana ??  aku benar-benar dilema.

..............................................

            Dony menatapku dengan kening berkerut, entah apa yang ada di pikirannya sampai-sampai mimik mukanya seserius itu. yang jelas itu tentang aku dan masalahku. sore ini aku sengaja datang ke rumah Dony sahabatku yang selama ini selalu setia mendengarkan semua curhatanku. tak jauh berbeda, aku juga menatapnya bingung, menunggu nasihat yang akan keluar dari mulutnya.
        “kamu harus bisa ngelenyapin perasaan itu Sil..” akhirnya kata-kata itu yang keluar. aku langsung melongos “aku tau Don, aku juga pengen. tapi gimana caranya ?”
        Dony menarik nafas “sebisa mungkin kamu jauhin Reza, gimana mungkin kamu bisa ngelupain Reza kalau setiap hari kamu sebangku sama dia” aku tertegun mendengar ucapan Dony, yaa.. semenjak satu kelompok, mendadak Reza memang jadi teman sebangkuku. “tapii...” ucapku menggantung
        “mulai besok, kamu duduk bareng aku aja. biar Reza nggak ada alasan buat duduk sama kamu”. 

        Lagi-lagi aku tertegun, Dony seolah bisa membaca pikiranku, kata-katanya barusan menjawab pertanyaan yg belum sempat aku lontarkan. “mau nggak ?” Dony menunggu jawabanku. yahh.. mungkin memang ini yang terbaik, aku mengangguk samar “iya, makasi ya Don..”
        “Sama-sama” Dony menepuk pundakku pelan “yuuk ah..aku antar pulang, udah mau malem nih” aku beranjak dari dudukku dan mengekor di belakangnya.

..................................................

            3 minggu sudah berlalu sejak aku memutuskan untuk menjauhi Reza. sebisa mungkin selama di sekolah Dony selalu jadi pengawalku, meski berlebihan memang begitulah kenyataannya. Reza sendiri tak merasa aneh dengan sikapku yang akhir-akhir ini menjauhinya, dan ia juga tanpak biasa-biasa saja. kini selama aku duduk dengan Dony, ia lebih sering duduk dengan Sofi atau enggak Wulan. meski samar aku bisa memlihat perlakuan Reza terhadap Sofi, wulan dan cewek-cewek lain di kelasku tak ada bedanya dengan perlakuan Reza padaku. jadi selama ini aku saja yang terlalu berlebihan menganggap Reza memperlakukanku secara spesial, Reza memang baik dan dia baik pada semua orang tak terkecuali padaku. dan itulah bodohnya aku, mengapa aku baru menyadarinya sekarang ? 
        “Heyy....heyy...” Reza melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku, aku tentu saja kaget. ternyata tanpa sadar dari tadi aku sedang memperhatikan Reza. hari ini Dony tidak masuk, katanya sih sakit, jadi aku nggak punya alasan deh untuk nolak waktuReza ingin duduk di bangku sebelahku. 
        “aku taulah aku cakep, tapi nggak usah ngeliatin aku kayak gitu deh” canda Reza narsis
        “hah ? ngeliatin kamu ? hueekk” aku pura-pur muntah “nggak banget deh” elakku. Padahal aku memang memperhatikannya hue hue..

        Reza tertawa renyah melihat tingkahku, huh.. 3 minggu ya aku nggak pernah bercanda kayak gini sama ni cowok ? aku menarik nafas pelan, sambil kembali sibuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket. tapi baru saja aku menjawab satu soal, aku menyadari suatu hal... ternyata dari tadi aku duduk dengan Reza, aku sama sekali tak merasakan perasaan itu lagi. jantungku tidak berdebar-debar lagi kayak seperti kemaren-kemaren, yahhh apa perasaan itu hilang ?? apapun itu saat ini aku sangat senang. dan kalian tau, siapa yang ada di pikiranku saat ini ?? yupRama..

....................................................

            “Cepetan Dong Ramm..” aku berseru sambil berlari-lari kecil menghampiri deburan ombak yang tanpak tenang. Rama menyusulku setelah memarkir motornya di bawah salah satu pohon rindang di pinggir pantai.
2 bulan waktu yang cukup lama untuk meyakinkanku bahwa perasaanku pada Reza benar-benar sudah hilang, bahkan mungkin sebenarnya perasaan itu memang tak ada, tapi hanya aku saja yang menganggapnya ada. 
        “kamu kok tumben sih ngajak aku ke pantai ?” tanya Rama begitu duduk di sampingku. aku memejamkan mataku sejenak, kubiarkan angin pantai menerpa wajahku, kupenuhi paru-paruku dengan udara lalu menghembuskannya bersamaan dengan terbukanya mataku.
        “kamu ingat hari ini hari apa ?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari hamparan laut tiada batas di depanku.
        “emang hari apa ?” Rama mengikuti arah pandangku “hari minggu kan ? masak lupa”.

        Aku tertawa lirih, aku tau Rama hanya bercanda dengan pura-pura lupa “hari ini kan tepat satu tahun kita jadian”
        “oh ya ?” Rama pura-pura kaget lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum penuh arti “tentu saja aku ingat”. Rama lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya “dan ini hadiah buat kamu” wow seuntai kalung.. tentu saja Rama ingat. bahkan ia sempat memberikan aku hadiah. sedangkan aku ? kalau saja tadi pagi Dony tak mengucapkan ‘Happy 1st Anniversary’ aku pasti sudah lupa. thanksss Donn... ucapku dalam hati. 
        “udahh... gimana ? suka nggak ?” tanya Rama begitu selesai menyematkan kalung itu di leherku
        “mm... suka banget, thankss ya” lalu aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal “umm.. tapi, maaf ya Ramm.. aku nggak sempet beliin kamu sesuatu” ucapku penuh penyesalan
        “hahhaha.. nggak apa-apa lagi Sill, aku kan nggak lagi ultah” ucapnya sambil tertawa
        “tapi kann...”
        “udahlahh... photoan yuukkk !!” ajaknya seraya berdiri, diulurkannya tangannya untuk membantuku berdiri, “minta bantuan siapa yaaa ?” aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin mau jadi sukarelawan
        “paaakkk....!!” aku melambaikan tanganku pada seorang bapak yang sedang berlari-lari sore
        “iya ?” bapak itu menghampiri
       “bisa minta tolong photoin kami berdua nggak pak ?” pinta Rama sopan. dan bapak itupun dengan senang hati menerima uluran kamera dari Rama. setelah aku dan Rama memasang pose sekeren mungkin, bapak itu mulai menghitung bak photografer profesional “yakk... satu...duaaa....”
KLIK... dan moment itupun terabadikan untuk selamanya...

The End

Terserah Padamu

$
0
0
 Oleh: MRS

         “Sudahlah Nin, aku tidak mau membuat kau menangis lagi,” seruku di Hp-ku..
        Siang itu, Nina menuduhku menyebarkan isu kalau kami telah jadian. Padahal, sama sekali tidak pernah aku mengatakan kepada siapa-siapa kalau aku dan dia telah jadian. Karena aku tau, biar apapun terjadi aku tidak akan jadian dengannya. Aku tidak mau membuat dia berharap akan cinta dari ku.
           Dia sudah sering bertengkar denganku, ya, bertengkar karena berbagai alasan, entah karena SMS-nya yang tidak aku balas karena tidak ada pulsa, entah itu karena aku tidak menyapanya, dan terkadang aku tidak tahu karena apa dia marah padaku.
          Nina memang seorang remaja cewek yang cantik, aku tahu itu, dia pintar, alim dan murah senyum. Kami satu sekolahan, tapi
tidak satu kelas, aku kelas X.2, sedangkan ia kelas X.1. Satu hal yang tidak aku lupa  tentangnya adalah mudah ngambek dan marah. Seperti apa yang baru terjadi. Setiap dia marah kepada ku, aku selalu mencoba mengerti dan memintra maaf padanya. Tidak pernah aku balik marah kepadanya, meskipun aku tahu aku tidak ada salah apa-apa.
          Nina mencintaiku, ya!! Itulah kenyataannya, meski ia tida berani mengatakan hal itu pada ku. Semua teman-teman ku telah tahu akan hal itu. Di sekolahpun, aku sering dijodoh-jodohkan dengannya oleh teman-temanku. Tapi, aku selalu tidak bisa menerima keadaan dan kenyataan ini. Aku tidak tega mengatakan kalau aku tidak mencintainya, dan aku juga tidak mau mengatakan kalau aku mencintainya. Entah apa sebabnya, aku benar-benar tidak mau jadian dengan cewek yang bisa dibilang sempurna itu, mungkin aku belum siap untuk pacaran, karena memang aku benar-benar tidak kalau sekolah ataupun belajarku terganggu akan hal itu.
          Dia mematikan telponnya dengan rasa marah kepadaku. Aku cukup sadar untuk mengatakan kalau aku telah jadian dengannya, karena aku tidak mau membuat dia berharap akan cinta dari ku.
          Dua hari lamanya dia tidak mau menyapa ku dan bertatapan dengan ku, tapi aku tetap saja tidak mengambil pusing akan hal itu, karena aku benar-benar tidak menyebar isu sampah itu. Entah sampai kapan dia tidak akan menyapaku, pikirku dalam hati. Meskipun aku tidak mencintainya, aku tetap peduli padanya. Karena dululnya kami adalah teman baik, ya, dengan beberapa orang teman lainnya. Ternyata memang, cinta itu bisa merusak persahabatan.

***

          Hp-ku bergetar, kulihat jam dikamarku yang ternyata masih pukul 04.00 WIB. Kubaca SMS yang ternyata dari Nina tersebut; maaf, aku terlalu sering marah-marah dan tidak memahami hal yang sebenarnya terjadi, ternyata aku telah keliru, Ulva yang telah menyebarkan isu itu, maaf.Hati ku lega karena akhirnya ia menyadari kalau aku memang tidak bersalah, dan ternyata, yang menyebarkan isu itu adalah Ulva, teman satu kelasnnya.
          Keesokkan paginya, aku sedikit kaget mendengar kabar dari teman-teman yang mengatakan kalau Nina sudah jadian dengan Rian, anak X.3. Apa sebegitu cepatkah ia melupakan cintanya kepadaku? Pikirku. Tapi kurasa itu lebih baik, toh nanti itu akan membuat ia tidak sakit hati lagi kalau aku tidak membalas cintanya, karena ia sudah mendapatkan yang lebih baik dari ku.

***


          Malam Minggu ini aku tidak kemana-mana, aku hanya berhadapan dengan layar monitor komputerku, mengerjakan tugas sambil sesekali facebookkan. Kebetulan, aku melihat status yang baru di up-date oleh Nina. Dalam statusnya, ia bilang kalau dia masih berharap padaku, tapi sekarang ia berusaha mencintai Rian, untuk melupakan aku, ya.. begitulah makna yang tersirat dari kalimat-kalimat dalam statusnya. Baru aku tahu kalau ia jadian dengan Rian hanya untuk melupakan aku, jujur, aku merasa iba kepada Rian yang aku tahu Rian tulus mencintainya.
          Ku shutdown-kan komputerku dan segera ku SMS Nina. Aku ingin tahu, apa benar, ia masih mencintaiku. Tetapi ia tidak mau membalas SMS yang telah tiga kali ku kirim berulang-ulang. Ya sudahlah, pikirku. Terserah pada mu saja. Aku tetap tidak bisa mencintai mu, karena aku ingin serius untuk menggapai cita-cita ku. Dan aku tidak ingin terhalang oleh apapun, juga oleh kisah cinta monyet anak remaja. Maaf. Aku naik ke atas tempat tidurku dan ku tarik selimutku, dan aku tidur melupakan cinta dari Nina dan berharap bermimpi indah

END

Yogie And The Shiny Land - Part #2 Selamat Datang!

$
0
0
 ( Ringkasan cerita edisi sebelumnya: Saat sadar, Yogie mendapati dirinya tidak berada di kamarnya. Celakanya, ia tak ingat apa-apa kecuali namanya, kamarnya, gadis yang disukainya, dan sahabatnya! Ditengah kebingungannya, seekor hewan aneh muncul, menyusul seorang gadis aneh pula. Dan sebelum ia bercerita banyak, tiba-tiba ledakan bertubi-tubi menyerang… )
-----------------------------------------

 
      Oleh: Aul Howler

         “DHUAAARR!!!”
            “DHUAAARR!!! DHUUUAAARR!!!”
            Ledakan demi ledakan menghancurkan dinding-dinding berlumut di hadapan Yogie dan gadis itu. Debu berterbangan di mana-mana, dan cahaya mulai masuk ke dalam bangunan yang sebagian dindingnya telah rata dengan tanah itu.

            “Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
            Yogie tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu dibalik kepanikan yang kini melandanya. Belum lagi hilang keterkejutannya akan hewan aneh dan gadis aneh yang muncul di hadapannya, kini ia harus menghadapi hal aneh lainnya.

            “Kita diserang, barra.” Gadis itu berbisik.
            “Kenapa kita diserang? Memangnya apa yang telah kita lakukan?”
            Gadis itu menatap Yogie, tajam. “Kita telah berada di pebatasan Shiny Land, barra! Di daerah perbatasan dengan Dark Kingdom, barra! Mungkin mereka mengira kita adalah mata-mata, barra!”
            “Mereka? Mata-mata?” Yogie mengulangi. Sebentar ia berpikir, mencoba memahami. “Maksudmu, kita sedang diserang karena dianggap musuh, oleh penghuni Dark Kingdom?”
            “Begitulah, barra!” Ujar gadis itu sambil mengambil panah dari keranjang stroberinya, dan melepaskan sebuah anak panah ke arah dinding yang telah berlubang. Terdengar jeritan panjang dan suara kaca pecah.
            “Kau membunuh mereka!” Yogie berteriak histeris.

        “Tidak, barra! Prajurit Dark Kingdom yang terkena panah kayu cahaya hanya akan kehilangan tubuhnya, barra!. Jiwanya kembali ke bukit tandus, dan dalam dua hari tubuh serta jiwa mereka akan muncul kembali dari pohon angkara, barra!” Gadis itu menjelaskan.

            Yogie diam saja. Tapi paling tidak ia sedikit mengerti. Ya, kegemarannya akan game RPG atau novel-novel petualangan membuatnya memiliki cara pikir yang bagus dalam banyak hal.
            “Ikuti aku, barra! Cepat!” Gadis itu berbisik, kemudian ia bergegas menuju pintu.

            Tanpa banyak tanya lagi, Yogie mengikutinya. Lantai yang penuh lumut membuat Yogie harus berhati-hati berjalan cepat. Tapi matanya tetap menoleh kemana-mana.
            Sekarang mereka menuruni tangga yang juga penuh lumut. Tangga yang sangat panjang, yang bahkan tak kelihatan ujungnya. Tapi karena gadis itu terus saja menuruni tangga, maka Yogie pun tetap mengikutinya.
            Tiba-tiba gadis itu berbalik menuju Yogie dan menubruk Yogie hingga jatuh terduduk. Sebuah kilatan cahaya ungu melewati mereka, meleset mengenai anak tangga di atas mereka. Anak tangga itu hancur berserakan.

            “Ya ampun, hampir saja!” Yogie terbelalak. “Apa yang barusan menyerang itu mereka?”
            Gadis itu mengangguk. Segera ia menyentuh benda berkilauan di ujung ekor spiral grumpie coklat yang sejak tadi terbang mengiringi nya. Dan cahaya kuning keemasan berpendar dari sayap dan benda berkilau di dahi grumpie coklat itu.

            “AAAAARGH!!” terdengar beberapa suara mengerang.
            “Apa yang sedang kau lakukan?” Yogie bertanya bingung.
            “Ada tiga prajurit Dark Kingdom di depan kita, barra! Mereka akan buta sementara karena tak tahan cahaya grumpie, barra!” ujarnya. “Ayo kita terus, barra!”

            Dan gadis itu mulai berlari menuruni anak tangga. Sebenarnya Yogie agak kesal juga, karena ia belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, dan gadis itu agaknya belum mau bercerita banyak.
            “Ayo kita ikuti dia,” Bisik Yogie pada grumpie biru yang sejak tadi melompat-lompat di sampingnya. Hewan itu mengepakkan sayapnya, melayang di sebelah Yogie.
            “GRUMMPIII…” Ujarnya. Sepertinya ia mengerti apa yang diucapkan Yogie.
            Dan mereka berlari mengikuti gadis yang bahkan belum diketahui Yogie namanya itu.

            Sebuah cahaya ungu melesat lagi. Kali ini dari belakang Yogie, yang hampir saja mengenai kepalanya. Yogie terkejut, tentu saja. Bagaimana aku bisa menghindarinya? Yogie membatin. Tapi kemudian grumpie biru yang melayang di sampingnya menjulurkan ekornya yang spiral. Yogie ingat. Segera ia menggenggam benda seperti berlian di ekor grumie biru itu,  dan tak lama cahaya biru yang terang berpendar dari sayap dan dahi hewan itu.
            “AAAARGHH!!” terdengar sebuah suara mengerang.
            Yogie tersenyum, kemudian melanjutkan lagi setengah berlari menuruni anak tangga yang telah kelihatan dasarnya.

            “Kau tidak apa-apa, barra?” Gadis itu telah berdiri di ujung tangga.
            “Ya.” Yogie menjawab, singkat. “Hei, namamu siapa?”
            “Aku Gutanana, barra! Dan tadi kau bilang namamu Yogie, barra?”
            Yogie mengangguk. “Kenapa dari tadi kau selalu berkat barra-barra-bara?”
            Gadis itu tersenyum. “Bahasa kami, barra!”
            “Oh begitu” Yogie menggaruk dagunya. Mungkin yang dimaksud Gutanana adalah dialeg atau logat. Tak aneh bukan? Di indonesia saja ada banyak dialeg atau logat tergantung suku atau daerah tempat tinggal penduduknya. Sama sekali tak mustahil di tempat asing ini juga ada logat tertentu.

            Gutanana melangkah lagi. “Untunglah kita sudah berhasil menjauhi perbatasan, barra! Prajurit Dark Kingdom tak bisa bertahan lama bila sampai di sini, barra!”
Gadis itu membuka pintu besar tak jauh dari ujung tangga. Cahaya terang langsung saja membuat Yogie mengangkat lengannya, menutupi matanya.

“Dimana kita?” Yogie bertanya.
            “Kita sudah sampai, barra. Selamat datang di Shiny Land, barra!” Jawab Gutanana, sambil melambaikan tangannya ke samping, layaknya seorang oemandu wisata yang menunjukkan bangunan-bangunan penting.

            Yogie tersenyum geli, dan menurunkan lengannya. Ia melangkah keluar dari pintu dan matanya terbelalak. Pemandangan yang kini terhampar di depan matanya sungguh membuatnya takjub.

(Bersambung)

Pelangi Di Balik Hujan

$
0
0
Oleh : Chacan Grace


        Detakan jarum jam terus terngiang dikepala. Bermain-main dan menghinggapi ubun-ubun. Senada bahkan seirama dengan beberapa lalat yang beterbangan. Cukup harmonis, terkesan lebih selaras terlebih dipadu dengan desahan napas yang masih labil. Maka orkestra dimalam kelabu pun bergeming. Tak hanya itu, nyamuk, teman lalat  pun sedang berlalu lalang mencari darah yang sedang berkeliaran.

        “Argh” Desahan napas yang sedang berkecamuk. Tenggorokan pun yang tak terkendali, sepertinya rongga-rongga di dalam tenggorokan sedang mengalami masalah sehingga hati pun sulit menyerukan keluh kesah.
           “Sumpah deh nih insomnia udah kecantol bukan sih sama gue?”

      Mengernyitkan dahi sampai membentuk beberapa lipatan, mungkin hingga dua sampai tiga lipatan tergantung dari cara  kita mengekspresikan beban pikiran. Setiap lipatan tak memiliki ukuran yang sama, ada yang kecil maka ada pulalah yang besar. Entah bagaimana lipatan didahi tersebut bersekutu lalu menimbulkan efek gumpalan lemak tak berisi berbentuk oval dengan dua kerutan di kedua sisi kiri dan kanan yang menempati markas sadari beberapa menit lalu. Kini, lalat beserta kawan-kawannya, nyamuk, tak menampakkan diri. Apakah mereka telah merasa lelah? Lalu menenun mimpi disudut ruangan yang tak terbiaskan cahaya?

        “Si lalat aja ngga nongol-nongol tuh badannya, nah gue? Boro-boro deh nyusun konsep buat mimpi entar malam, nguapnya aja belom. Wah, jangan-jangan gue salah satu keturunan kelelawar yang udah renkarnasi jadi manusia lagi.”

        Sempat terpikir pertanyaan konyol itu terucapkan. Warna kelopak mata yang semakin menghitam telah menghiasi wajah putih bersih ini. Merefleksikan mata dengan menggerakkan mata ke atas dan ke bawah lalu merebahkan tubuh di atas springbed seakan warna sari kehidupan mulai terkuak secara perlahan namun pasti. Waktu tidak akan mungkin kembali, lalu berlari-lari memohon diri bahkan mencegat agar kita bisa menghentikan aksinya. That’s impossible, right?

-----------------------

        Musik full band berdendang kencang menyelimuti hati yang sedang galau. Hentakkan kaki yang mampu meretakkan tanah, pukulan kuat yang sadis, sungguh malang nasib si piring hitam tergolek tak bernyawa. Not black, not white, it’s just grey. Kalau saja ia hidup, napasnya pasti sedang tersengal-sengal bahkan bisa saja mengalami serangan jantung secara mendadak. Atau mungkin ambulans sedang sibuk mempersiapkan jasanya, membopong benda tak berarti tersebut. Lalu sang kuncen mulai menggali tanah.

          “Boleh juga lo maen tuh drum!” 

         Ruang musik yang pada awalnya sangat menyenangkan bak sedang tampil di atas panggung spektakuler yang tak pernah dibayangkan sebelumnya langsung runtuh seketika sejak tsunami datang mengganggu. Maka PMI, relawan-relawan beserta pihak pemerintah datang membantu, memberikan sumbangan.

     “Heh, lo ditanya malah masih enteng megang tuh stik, adanya tuh ya kalo ditanya dijawab dong pertanyaannya, eh ini cuma diam, sumpah lo aneh deh!”

    Suhu udara meningkat, AC yang terpajang tersisih di sudut 90˚ ruangan tersebut masih angkuh menampilkan pertunjukkannya, tak tahukah udara sekitar ruang musik semakin mencekat? Membungkam dan menusuk alat vital?

       “Buset dah, sumpah lo tuh ya aneh banget jadi orang, dari luar sih emang cukup cupu di tambah sama kebisuan elo, eh ternyata bisa juga lo maen tuh drum.”

       Awan berat boleh saja bergelantungan manja pada sang langit, 180˚ berbeda dibanding suhu dinding ruang musik, entah mengapa tiba-tiba AC menjadi tak berguna lagi. Tangan-tangan mungil pun terus merajut stik dan piring hitam menjadi satu kesatuan, dan prang prang terenteng teeengg, maka permainan drum pun berakhir. Gadis berambut panjang nan hitam layaknya kopi pekat tanpa bahan campuran lain seperti gula atau pun crimer, hitam sehitam-hitamnya arang. Rambut yang dibiarkan hidup bebas, jauh dari terbelunggunya suatu ikatan dan beberapa helai yang dibiarkan beraksi sesuka hati beserta poni yang tak nampak berjatuhan. Kacamata yang menjadi tameng dari empunya kedua bola mata bening. Mampu menghanyutkan seseorang bahkan menenggelamkan lawan sampai desahan napas terakhir. Bak mata air yang jernih yang tak disuguhi desiran ombak atau karang-karang yang menghalangi. Membalikkan tubuh segemulai penari bermain di atas trampolin namun tetap tegak berwibawa seperti presiden. Overall, she looks elegant in the first sight. Tak satu pun senyum tersinggung dari bibirnya, hanya ke dua kakinya yang sedang mengaktifkan fungsi lalu melangkah menapaki setiap ubin dan pergi menghilang tanpa sepenggal jejak dalam pencarian seberkas cahaya yang telah sirna.

-----------------------

        “Siapa sih tuh cowo, gangguin aja, orang kan lagi asik main drum, apalagi sekarang gue udah  ketahuan main drum di ruang musik, bisa berabe ntar masalahnya.”

     Omelan demi omelan pun terlontar, hentakkan kaki pun semakin menajam menusuki tanah. Entah mengapa awan berat masih setia memanjakan diri pada sang langit. Bahkan langit pun mulai jatuh hati pada awan kelam tersebut. Matahari boleh saja lelah dan meluapkan kegairahannya menuju sang singgasana. Namun, janganlah sampai petir menyapa. Burung-burung pun boleh saja berhenti bernyanyi, namun merdunya kicauan yang terucap dari setiap burung pipit janganlah memudar. Tetesan air dari sang penguasa awan pun boleh pula jatuh menimpa segala makhluk dibumi, namun tolong janganlah sampai memusnahkan semuanya.

        “Mana gue ngga kenal lagi sama dia. Syukurlah! Setidaknya dia ngga bakal nyapa, orang dia juga ngga kenal gue. Udah gitu bawelnya minta ampun. Semoga aja dia ngga ke ruang musik lagi.” Helaan napas yang terlalu berat membuat dirinya seakan terdesak.
         “Hei, lo ngga sinting kan? Dari tadi lo tuh ngomong sendiri.”
         “Ya Tuhan, tolong hambaMu yang baik ini.”
         “Heh, bukannya lo yang tadi maen drum ya?”

         Dengan sengaja, si gadis mungil yang sadari tadi bersungut-sungut, membungkam mulut seorang yang tak dikenalnya, sambil melirik kanan dan kiri, apakah ada yang melihat tingkah buruknya sore itu atau tidak.

        “Pfffff” Sang cowok meronta-ronta ingin melepaskan tangan gadis yang menurutnya aneh karena telah membungkam mulut orang yang baru dikenalnya diruang musik tadi. Terpaksa si cowok mengeluarkan kekuatannya lalu memaksa gadis yang dihadapannya untuk berhenti melakukan aksi tak terpujinya.
        “Apaan sih lo! Bekap mulut orang sembarangan, kenapa sih? Ada masalah sama gue? Tadi pas diruang musik, lo cuma diam, nah sekarang nutup mulut orang dengan ngga sopan banget.”
       “Udah nyerocosnya?” Beban yang sudah menumpuk diterima si gadis membuatnya ingin melampiaskan segala amarahnya pada orang yang sedang berada di depannya.
         “Lo belom jawab omongan gue tadi, ada masalah sama gue?”
       “Ada, ada banget malah. Lo tuh udah sembarangan masuk ke ruang musik dan volume suara elo pas nanya tadi kenceng banget.” Emosi si gadis mulai tak beraturan.
        “Trus kenapa? Emang disekolah ada peraturan gitu ‘dilarang masuk ke ruang musik apabila ada seorang gadis yang sedang bermain drum’, ada gitu?
        “Udah deh, capek gue dan pastinya elo ngga bakal ngerti. Udah ya, sorry buat perlakuan gue yang ngga berkenan tadi.”
        “Eh.. Sini lo! Enak aja main kabur, udah ngebekap mulut orang, malah neloyor pulang.”
        “Kan tadi gue udah minta maaf, udah kan?”
        “Emang udah, tapi gue kan belom kenal elo selain itu lo juga aneh, masak gue cuma ngomong permainan drum lo lumayan, lo nya jadi marah, emang ada apa?” Penuturan nada si cowok mulai lembut dan santai. Entah mengapa, ada perasaan ingin tahu dalam hatinya.
        “Ngga perlu lo tau, sedangkan gue aja ngga niat buat ngasih tau elo, okay?”

        Pergerakan angin yang semakin tak tentu menyelimuti hati yang sedang galau. Tanpa jawaban apa pun, gadis mungil tersebut berlari agak cepat mendahului seorang yang tak dikenalnya. Berlari secepat mungkin, menggapai sesuatu yang belum dilihatnya. Aroma fresh floral pun perlahan semakin memudar. Hanya bungkaman sembarang yang tertinggal membekas dihati, namun tangan mungil itu telah berlalu dari hadapan.

-----------------------

      “Cheryl, udah belajar nak? Bukannya minggu depan kamu mau ikutan olimpiade kimia mewakili sekolah?”
         “Udah kok ma, ini juga baru selesai.” Dengan malas gadis mungil yang ternyata memiliki nama Cheryl itu  menjawab.
        “Oh baguslah, rajin-rajin ngerjain soal ya nak, nih mama udah beli buku bank soal kimia untuk SMA biar kamu bisa lebih giat. Jangan ngecewain sekolah kamu ya nak. Pihak sekolah udah milih kamu, karena mereka percaya kalo kamu mampu.”
         “Iya ma” Kata singkat pun berkoar, seolah-olah DPR yang patuh terhadap kebijakan presiden. Namun, entah mengapa Cheryl merasa jijik melihat gradasi warna hijau pada cover buku kumpulan dan pembahasan soal yang barusan diberi mamanya.

-----------------------

        Dengan langkah gontai, Cheryl berjalan menuju kamar, seakan ingin meraih handuk yang terasa jauh baginya, lalu dengan langkah yang dipercepat tak sabar ingin diguyur oleh butiran-butiran bening yang menetes dari shower

-----------------------

        “Ma, berangkat dulu ya!”
        T-shirt biru muda dan jeans biru kelam beserta kunciran yang bersandang ditubuhnya, kini Cheryl telah rapi, tak lupa ia mengucap salam sebelum ia hendak pergi menuntut ilmu ditempat lesnya. Terkadang ia merasa telah dikekang oleh beberapa pihak, setidaknya ia ingin sedikit mencicipi nano-nano kisah remaja. Mungkin tidak sampai ke hal berpacaran, tapi lebih ke hal bebas memilih arah yang ingin ia lalui.  Berbeda prinsip pasti akan terjadi dalam kehidupan. Tergantung dari cara kita memilh jalur.

       “Hati-hati ya nak, belajar yang bener, jangan lupa minta tolong ke mbak Mianya buat ngebimbing kamu belajar kimia.”
       “Iya mama, entar telat lagi, dah dah mama.”
       Mengecup pipi kiri dan kanan, lalu melambaikan tangan pada mamanya. Cheryl telah sangat siap merajut mimpi. Ada perasaan tak ingin mengecewakan papa dan mamanya serta sekolah. Namun, ada sesuatu yang ia sembunyikan selama ini pada orang tuanya. Mengenai hobi yang tidak pernah ia ceritakan pada papa atau pun pada mamanya,

-----------------------

        Hidup penuh dengan mutiara. Banyak dari mutiara tersebut yang terselebung dalam lautan yang terbentang luas, bermacam-macam jenis batu karang pulalah yang tergabung di dalam sana. Batu karang boleh saja kokoh, namun saat desiran ombak dashyat datang menghantamnya, apakah ia akan tetap kokoh seperti sedia kala? Ataukah hancur berkeping ditelan ombak? Sekuat apa pun batu karang tersebut, ia akan tetap hancur lebur dalam kekuasaan ombak. Seperti seorang remaja, sekuat apa pun ia menyimpan hal yang tak ingin orang lain ketahui, namun suatu saat pasti pula akan diketahui.

-----------------------

        “Cheryl, udah belajar belom nak?”
        “Belom ma, capek. Tadi ditempat les kan juga udah ngebahas soal bareng mbak Mia ma.”
      “Iya, tapi kan minggu depan itu udah ngga lama sayang? Kamu harus belajar, kasian nanti kalo sekolah kamu kalah. Ayolah demi sekolahmu, nak.”
        “Okay mama, ini mau beresin buku dulu.”
       “Tapi bentar belajar ya nak, tuh mama kan udah beli buku bank soal, hari ini kamu pelajari kimia kelas 11 semester 2 aja. Nanti besok baru kamu mulai pelajaran kelas 12.”
       “Iya mama.” Dengan lesu dan wajah cemberut, Cheryl merapikan alat tulis beserta buku-buku paketnya. Setiap manusia pasti punya titik kejenuhan dalam hidup. Dan mungkin saat ini Cheryl sedang merasakan rasa jenuh tersebut.

-----------------------

           “Hei, permainan lo kok agak berantakan. Ada apa?”
       Permainan drum yang terkesan agak berantakan tetap dilanjutkan oleh gadis mungil itu. Tangan-tangan mungilnya pun tak lelah memegang stik drum, padahal waktu telah terus bergulir hingga menunjukkan pukul 17.00. Hari ini juga pun ternyata ia ada les. No, BIG! Tiap hari, senin, rabu, jumat ia ada les MIPA dan selasa serta rabu ia terpaksa harus mengikuti les vocal yang sebenarnya tidak pernah ia sukai. Dan sabtu harus juga ia mengikuti kursus renang. Setidaknya renang lebih membuatnya agak rileks dalam menjalani setiap alur kehidupannya.

       “Lo ngga dicariin nyokap atau bokap lo? Ini kan udah jam 5 sore, kasian tau ortu lo mungkin lagi bingung mau nyariin elo kemana.”
       “Nyariin? Please deh, lo jangan ganggu-ganggu gue lagi. Gue capek tau ngga, capek, capek banget. Jadi lo ngga usah ngurusin orang lain. Tolong.”
        “Okay. Lo Cheryl anak XI IPA 1 kan?”
        “Dari mana lo tau kelas gue?”
        “Ya taulah, lo yang disuruh mewakili sekolah buat olimp kimia minggu depan kan?”
        “Iya. Emang lo siapa?”
        “Hah? Lo ngga kenal gue? Gue kan partner elo buat olimp kimia. Gue juga ikut olimp itu kok.”
       “Oh lupa gue, emang lo siapa dan anak kelas berapa? Eh.. tunggu bukannya elo yang suka manggung di foodcourt sekolah kita ya?” Dengan berpikir keras mengingat orang yang ada di depannya, Cheryl melanjutkan pernyataannya. “…yang megang gitar bukan?”
        “Yup, gue Rio anak IPA 2, orang kelas kita sampingan aja, masak lo ngga tau gue.”

        Hampir 45 menit mereka mengobrol, topik pembicaraannya mulai dari pelajaran kimia tentang laju reaksi sampai menunjukkan bakat masing-masing. Entah kenapa, Rio ingin mengantar Cheryl pulang selain karena Cheryl seorang cewek, ia juga merasa klop mengobrol dengan Cheryl yang sama-sama memiliki minat dalam dunia musik. Maka cagiva merah pun telah berlalu.

-----------------------

        Hasil pengumuman pemenang olimpiade kimia telah disampaikan ke setiap peserta olimpiade tersebut. Perasaan gundah menyelimuti Cheryl. Saat sampai di depan gerbang sekolahnya, ia berpapasan dengan kedua orang tuanya.
         “Cheryl, gimana hasil pengumuman kamu nak?”
       Degup jantung yang masih sangat labil menuntun Cheryl untuk menjawab pertanyaan papanya dengan terbata-bata. “Juara harapan 1 pa.”
        “Apa nak?”

      Perasaan takut menggelayuti hatinya yang telah gundah, rasa kecewa pun telah membekas dihatinya sesaat pengumuman tadi dibeberkan. “Juara harapan 1 pa. Maaf pa, Cheryl ngga bisa ngasih yang terbaik, padahal papa dan mama udah nyediain biaya buat les MIPA Cheryl, bahkan les vocal Cheryl aja juga berantakan, dan cuma renang aja yang masih ada kemajuan.” Semakin panjang ia mengungkapkan isi hatinya, semakin ada rasa menyesal dalam hatinya.

        Entah berasal dari mana dorongan tadi, kini papa dan mamanya telah mendekap anak gadis remajanya semata wayang dalam pelukan hangat mereka. Entah ada gaya apa yang bisa merekatkan mereka antarsatu sama lain. Entah dari mana pula jugalah perasaan galaunya terasa mulai menghilang secara perlahan.
       “Pa, ma, Cheryl mau nunjukin sesuatu.” Sambil menarik tangan ke dua orang tuanya, Cheryl menuntun langkah orang tuanya menuju ke dalam sekolahnya lagi. “Papa, mama, tunggu Cheryl di sini ya” lanjutnya.

      Ternyata di aula sekolahnya sedang diadakan festival budaya Indonesia dan ternyatanya lagi Cheryl menyumbangkan aksi drumnya di depan beratus bahkan mungkin sampai seribu pasang mata yang kini sedang menatapnya. Entah ada gejolak apa yang membuat perasaan sedihnya telah sirna. Papa dan mamanya serta Rio duduk diantara lima ratusan orang. Kini, kedua orang tuanya sedang tersenyum menatap aksi drum yang selama belasan tahun belum pernah dipertunjukan oleh belahan jiwa mereka, Cheryl dan mereka mulai menyadari bakat anaknya yang sebenarnya.

        Orang tua punya cara tersendiri dalam mendidik anak-anaknya dan patutlah kita hargai itu. Karena kasih dan doa orang tua pasti akan selalu menyertai kisah perjalanan hidup anak-anaknya. Penyesalan pasti akan menempati ruang di akhir setiap cerita, namun janganlah kita berdiam dalam penyesalan itu, karena saat kita terus-terusan berada dalam cengkeramannya, kita akan membuahkan penyesalan berikutnya yang tak pernah terduga. Pasti akan ada senyum dibalik tangis dan pelangi dibalik hujan.

~The End~

written at
Bogor, Mei 2011
-Chacan Grace-

Yogie And The Shiny Land - Part #3

$
0
0
Oleh : Aul Howler

    “Kereenn!!” Yogie tak tahan diam saja.
            Gutanana mengerutkan dahinya, “Apa itu kereenn, barra?”
            Yogie tertawa. “Bisa dibilang bagus, unik, menarik, luar biasa. Yah, semacam penilaian untuk hal-hal tertentu. Tempat ini misalnya.”
            Gutanana diam saja. Sebentar ia menatap Yogie penuh binar kekaguman. Seulas senyumnya merekah, dari kulitnya yang putih bersih.
            Yogie segera mengalihkan pandangannya. Entah kenapa, wajahnya mendadak terasa panas, dan ia yakin juga bersemu merah! Celakanya, situasi saat itu tak bisa dibilang biasa-biasa saja. Ini terlalu indah, dan agak —ya ampun— romantis!
            Nama Shiny Land barangkali bukan sekedar nama asal jadi, karena tempat itu memang benar berkilauan (shiny). Rumput-rumputnya berkilauan, seakan-akan disetiap ruasanya terdapat embun yang tak pernah mengering. Pohon asing tumbuh di mana-mana, juga tak kalah berkilauan, seolah kulitnya bertabur serpihan berlian. Langitnya tampak lebih cerah, mataharinya lebih terang, dan danau di ujung sana seperti puding melon, bercahaya menghijau karena pantulan bayangan tumbuhan di sekitarnya.
            Ada sebuah tumbuhan yang mencolok di antara yang lainnya, membuat rasa ingin tahu Yogie tak bisa disembunyikan. Ia mendekati tumbuhan itu. Bila matanya tidak salah, apa yang ia lihat tumbuh bergerombol di hadapannya adalah boneka bentuk hati —Simbol ‘LOVE’— dengan warna yang berbeda-beda. Ada yang hijau dan berukuran lebih kecil, ada yang merah, lalu ada yang pink! Jemari yogie terulur, ingin mengusap salah satunya yang berwarna pink dan kelihatan begitu lembut.
            “DHOR!!”
            Letusan di ujung jarinya membuat Yogie kaget bukan main, sampai terlonjak dan terjengkang ke belakang. Dari sisa letusan boneka hati itu, puluhan boneka hati kecil dengan sayap mereka berterbangan ke segala arah.
            Gutanana tertawa keras memegangi perutnya, dan kedua Grumpie yang sejak setengah hari terakhir mengikuti mereka, kini melompat-lompat dengan ekor spiralnya, kelihatannya ikut merasakan kegembiraan, saat menyaksikan Yogie —ia mendadak merasa telah bertingkah konyol.
            “Itu adalah bunga asmara, barra. Yang merah adalah bunga jantan, dan yang pink bunga betina. Bunga jantan akan meletus bila ada seorang perempuan yang sedang atau telah jatuh cinta menyentuhnya. Begitu pula sebaliknya, untuk bunga betina barra. Bedanya, bila bunga betina yang meletus, ia akan menerbangkan biji-bijinya, barra.” Gutanana menjelaskan.
            Yogie menggaruk dagunya. Untuk kedua kalinya dalam sehari ini. Ini tempat yang sungguh aneh. Pertama, ada Grumpie, hewan aneh. Kedua, ada Gutanana, gadis aneh. Ketiga, ada prajurit aneh yang bila tertembak panah kayu cahaya akan lahir kembali dari pohon angkara. Dan sekarang ada lagi bunga asmara, yang aneh: meletus bila disentuh oleh orang yang jatuh cinta. Kemudian muka Yogie memerah lagi, lebih merah dari sebelumnya. “Kalau begitu aku… jatuh… cinta? Ah!! Enggak kok!! Siapa bilang??”
            Gutanana tersenyum. “Tak ada yang bisa menyembunyikan perasaannya saat bersentuhan dengan bunga asmara, barra!”
            Yogie menunduk malu. “Ya, aku memang menyukai seseorang di duniaku. Ciara namanya. Tapi bukan cinta.” Ujarnya. Mukanya benar-benar merah sekarang. Baginya, masalah cinta itu terlalu pribadi, tak pantas dibicarakan. “Lagipula, aku kan masih 15 tahun….”
            “DARI MANA SAJA KAU, BARRA!!”
            Seorang gadis tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Gutanana., membelakangi Yogie. Seekor lagi Grumpie, melayang di sampingnya. Grumpie ini kelihatan lebih genit dengan warna pink ke unguan.
            “Kakak… aku memetik stroberi-stroberi ini, barra.” Ujar Gutanana sambil mengangkat keranjangnya.
            “Di perbatasan Dark Kingdom, barra?” Gadis itu meninggikan suaranya.
            Gutanana mengangguk lemah. Gadis yang ternyata kakak Gutanana itu berkacak pinggang. “Kau ini bagaimana, barra!? Apa kau bisa berpikir apa yang akan terjadi bila pasukan dark Kingdom menyerangmu, barra!?”
            “Aku punya panah kayu cahaya. Dan aku membawa serta Grumpie-ku. Jadi, tadi kami tidak apa-apa. Kakak tenang saja.”
            Gadis itu lebih meninggikan lagi suaranya. “Kau menembak mereka dengan kayu cahaya, barra!?”
            Gutanana mengangguk lagi. Kali ini kakaknya mendorongnya hingga terduduk di rumput. “BERANINYA KAU, BARRA!!”
            “Hei, hentikan!” teriak Yogie, tak tahan menyaksikan Gutanana dimarahi.
            Gadis itu sepertinya sedari tadi tak menyadari keberadaan Yogie beberapa meter di belakangnya. “Siapa Kau, barra?”
            “Aku Yogie. Aku teman Gutanana. Tolong jangan salahkan dia telah menggunakan anak panah itu. Dia melakukannya demi melindungiku! Jadi, kalau kau….”
            Yogie tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat ia mendekati gadis itu dan tersentak. Bila kekagetan bertemu Gutanana yang sangat mirip dengan Hanna sahabatnya itu, diibaratkan dengan memotong satu jarinya, maka bertemu gadis ini barangkali bisa diibaratkan dengan Yogie tak punya jari lagi karena telah terpotong semua. Kakak Gutanana ternyata sangat mirip dengan gadis angkuh yang disukainya: Ciara!
            “Ciara…?” Yogie berbisik, sambil mengamati gadis itu lebih seksama.
            Gutanana melotot, “Yogie?? Ciara, cintamu yang kita  bicarakan tadi itu... maksudmu kakakku, barra!!???”
            Belum sempat Yogie menjawab, gadis yang mirip Ciara itu mendorongnya, seperti ia mendorong Gutananatadi. Yogie terduduk di rumput, tepat di samping Gutanana.
            “Aku memang cantik dan terkenal, dan disukai semua lelaki. Tapi tak ada yang berani merendahkanku dengan memanggilku dengan nama lain. Aku Gutarara!! Barra!”
            Tiba-tiba langit di ujung danau menjadi gelap. Angin yang dingin mulai bertiup di sepanjang padang rumput yang kini mulai meredup cahayanya. Suasana mulai mencekam. Yogie terdiam. Ia yakin ini bukan pertanda baik.
            “Ini yang aku khawatirkan karena panahmu itu, barra! Dengan memecahkan tubuh prajuritnya, Raja Dark Kingdom akan mengira kita menantangnya berperang. Ayo, kita kembali ke perkampungan, barra! Kita harus cepat memberitahu ayah dan Raja Shiny Land! Barra!”
            Gutarara menarik tangan Gutanana dan yogie. Kemudian mereka berlari, bersama kepanikan yang menyesak dalam relung-relung dada mereka…
 (Bersambung)

Senja Yang Senja

$
0
0
Oleh : Aul Howler

          Aku adalah Senja. Dan aku adalah Senja yang senja. Nah, dahi mu jangan berkerut dulu, berusaha memahami apa yang baru saja kamu baca. Dengar dulu aku berkata-kata, barulah kamu boleh melakukan apa saja, termasuk bingung atau tersenyum atau tertawa atau mencela.
            Ya, Senja adalah nama yang diberikan almarhum orang tuaku untukku, putrinya yang paling bungsu. Nama lengkapku Dewi Nara Senja. Nama yang bagus bukan? Ibu memanggilku Dewi, sedangkan ayah memanggilku Senja.
Jujur saja, aku lebih senang dengan panggilan yang diberikan ayah. Menurutku, panggilan ‘Dewi’ terlalu feminim. Tidak cocok untukku yang senang memanjat pohon, berenang di sungai dan bermain layangan. Sedangkan ‘Senja’ terdengar lebih baik. Tidak begitu manis, tidak begitu ayu, dan lumayan sesuai dengan karakterku yang menurut teman-temanku – hampir semuanya laki-laki – sangat aneh. Aneh karena di waktu aku kecil dulu, sangat langka kejadiannya gadis berkepang dua hampir tak pernah pakai rok. Yah, aku memang tomboy, kau tahu.
            Tapi sumpah, aku juga merasa lebih senang dipanggil Dewi oleh ibuku, daripada panggilan yang diberikan teman-teman padaku. Mereka menyapaku dengan ‘Inja’. Menjijikkan sekali bila mereka mengolok-olok panggilanku dengan menambahkan huruf ‘T’ Sebelum ‘Inja’. Padahal aku tak pernah bau, mengingat kakak-kakakku senang meracik minyak wangi untukku. Yah, semua menyayangiku. Namanya juga anak bungsu
 ##~~<3~~##
             Aku adalah Senja. Dan aku adalah Senja yang senja. Senja untuk namaku, dan senja untuk usiaku. Begitulah, umurku
sudah 69 tahun sekarang. Walau begitu, aku masih sanggup mengetik ratusan kalimat lagi karena yah… Sejak umur 68 tahun dimana bicaraku mulai susah – bicara membuatku amat lelah, dan aku lebih sering berbisik atau bicara terbata-bata –  Zafi, cucuku, menghadiahiku sebuah komputer dengan keyboard berkabel panjang.
Mulanya untuk membantuku menyampaikan apa yang susah ku ucapkan. Jadi, orang-orang di sekitarku bisa mengerti apa yang kuinginkan, walaupun aku tak bicara. Tapi, belakangan aku lebih sering menggunakannya untuk melakukan hal lain: menulis – hobiku sejak masih SMA dulu – untuk diterbitkan di koran-koran.
Asal tahu saja, sebelum berusia senja, namaku cukup dikenal sebagai penulis. Dan karena itulah, aku telah terbiasa menulis – atau mengetik haha.
Aku selalu menulis ‘TAMBAH MIL’ untuk Mila, gadis yang merawatku – semacam pengasuh – bila aku telah menghabiskan semangkuk bubur ayam. Aku selalu menulis ‘AYO KITA JALAN-JALAN KE TAMAN MIL’ bila aku bosan di kamar.
Hihi, sebenarnya aku merasa kasihan juga pada Mila. Ia selalu repot mengurusiku, yang sudah tua dan mulai tak berdaya. Ia selalu mengantarkan makanan untukku. Ia selalu merapikan tempat tidurku, agar aku bisa istirahat dengan nyaman. Ia selalu mendorong kursi rodaku, bila aku ingin pergi ke mana-mana. Ia bahkan tidak jijik, saat membantuku di toilet.
Dan Mila tak pernah mengeluh. Dia merawatku dengan tulus, walaupun aku yakin Zafi tak menggajinya dengan layak. Well, aku memang tak pernah melihat bagaimana cucuku itu menggajinya. Yang kutahu hanya ia membawa Mila ke rumah setahun lalu. Masih segar diingatanku, saat itu ia berkata, “Nek, perkenalkan ini Mila. Mulai hari ini dia yang akan merawat Nenek,”
Dan Zafi pergi meninggalkanku, hanya berdua dengan Mila, di rumah yang besar dan mewah ini. Ya, Zafi memang berhasil dalam pekerjaannya. Ia melanjutkan perusahaan yang diwariskan oleh almarhum putraku. Dan ia juga memiliki hak milik atas butik terkenal yang diwariskan oleh almarhum menantuku.
Yang sedikit menyakitkan, Zafi – cucuku yang nakal itu – meninggalkanku dengan alasan ingin menuntaskan pekerjaannya di luar kota, agar sesudahnya ia bisa tinggal lagi bersamaku. Ia berjanji akan kembali di bulan April. Dan sekarang bulan April, bahkan dua hari lagi April akan berakhir. Tapi agaknya belum ada tanda ia akan datang. Apa benar ia akan datang?
Biarlah. Toh, aku terlanjur marah kepadanya, karena dia tak lagi menyayangiku. Yang ada di pikirannya saat ini hanya uang-uang dan uang. Demi uang ia rela meninggalkanku. Cucu macam apa itu! Huh!
Untung saja ia meninggalkan Mila bersamaku. Dan tulusnya kasih sayang Mila padaku membuatku menyayangi gadis itu pula. Lebih dan lebih dari sayangku kepada Zafi, cucuku sendiri, yang gila harta itu.
Mila selalu tersenyum manakala merawatku. Padahal hari-harinya kelabu karena aku. Saat gadis-gadis lain sebayanya sudah menikah dan punya anak, ia masih single, dan harus merawat wanita renta sepertiku sepanjang waktu.
Kasihan dia. Belum pernah kulihat ia kencan dengan pria manapun. Padahal ia begitu cantik. Mungkin saja secantik diriku saat masih muda dulu. Eh bukan, tentunya aku yang lebih cantik, walaupun aku lebih tomboy. Hihi.
“Nenek, Ada telepon dari Zafi. Mau bicara dengannya?”
Tiba-tiba Mila sudah berdiri di pintu kamarku yang selalu terbuka, sambil menyodorkan handphone nya.
Dadaku berdebar-debar. Apa Zafi akan pulang? Atau, jangan-jangan dia menelpon untuk memberitahuku bahwa ia tidak jadi pulang?
Melihatku diam saja, Mila bertanya lagi, “Nenek mau bicara dengannya?”
Aku mengangguk.
Mila mendekatiku dan menyalakan speaker handphone nya.
“Nenek…?”
Itu suara Zafi! Cucuku yang badung itu! Oh, mendengar suaranya saja aku senang. Ternyata tidak benar kalau setahun ini aku membencinya. Aku merindukannya.
“Ya…” Bisikku.
“Aku kangen Nenek. Apa aku boleh pulang sekarang?”
“Yaa…” Bisikku lagi.
Zafi tertawa, “Aku membawakan oleh-oleh. Sekotak rendang dan sekardus apel kesukaan nenek Dan Nenek jangan terkejut kalau mendengar kabar baik, bahwa aku akan segera menikah. Dengan restu Nenek tentu saja.”
Dadaku bergemuruh. Apa?? Menikah? Bagaimana bisa? Beraninya anak itu, tiba-tiba berkata akan menikah! Bukankah aku harus menyeleksi dulu, siapa yang boleh menjadi calon istrinya? Dia kan cucu kandungku! Atau, apa dia pikir, dia bisa menemukan calon istrinya sendiri, tanpa aku: Orang yang sudah tua dan sangat berpengalaman? Dia pikir ini dongeng atau cerpen apa, menikah dengan seseorang yang ia tentukan sendiri? Seenaknya saja!
“Nenek tak akan merestuimu,”
“Neneekk!!” Zafi berseru dari handphone.
“Beraninya kamu merencanakan pernikahan, tanpa sepengetahuan Nenek. Hanya Nenek yang bisa memilihkan siapa yang cocok untuk menjadi pasangan hidupmu! Jangan coba-coba anak muda! Nenek akan… Nenek… kk… Uhukk… uhuk…”
Kambuh lagi. Penyakit yang menggerogoti jasadku yang ringkih. Kelelahan gara-gara bicara terlalu panjang, menimbulkan batuk, sesak nafas dan susah bergerak. Nafasku mulai tersengal, dan Mila membantuku berbaring lagi di atas ranjang.
Mila mengambilkan minum, dan beberapa teguk air membutku merasa lebih baik. “Nenek jangan marah-marah begitu. Aku sedih melihat Nenek kesakitan seperti ini,” Ujar Mila, lirih. Sebentar diusapnya tanganku, lalu ia merapatkan selimutku.
“Tapi Zafi… Zafi… mau mm... nikah”
Mila tersenyum. “Bukannya dulu, nenek bilang akan bahagia bila Zafi segera menikah menikah?” Tanyanya, sambil meletakkan keyboard ke atas selimutku, agar aku berhenti bicara dan mengetik: Hal yang sangat kubutuhkan saat ini karena aku kembali sulit bicara. Mila memang selalu mengerti keadaanku.
‘MEMANG TAPI BUKAN DENGAN WANITA SEMBARANGAN’
Mila tersenyum lagi, “Nenek tidak percaya pada Zafi?  Dia kan sudah cukup dewasa, Nek. Bukankah lebih baik bila dia sendiri yang mencari calon pasangan hidupnya?”
‘PALING TIDAK DIA MENGENALKAN DULU CALONNYA KEPADA NENEK. AGAR NENEK TAU WANITA ITU AKAN MEMBUATNYA BAHAGIA. BILA BOLEH BERKHAYAL NENEK INGIN WANITA ITU MEMILIKI SIFAT YANG BAIK JUGA KEPADA NENEK, MAU MENYAYANGI NENEK, DAN MAU NENEK SAYANGI... KIRA-KIRA SEPERTI KAMU, MIL’
Mila tersenyum. Lalu berbisik, “Terima kasih, Nek. Nenek adalah wanita paling baik yang pernah Mila temui.” Kemudian dengan suara yang agak keras dia menambahkan, “Ayo minta maaf pada Nenek! Gara-gara kamu Nenek sakit lagi!”
Aku bingung. Apa maksud Mila? Kepada siapa ia bicara? Kepadaku? Tapi mustahil. Atau ia bicara dengan makhluk halus? Menyeramkan, tapi itu juga mustahil. Sampai usiaku yang sesenja ini, aku tak pernah percaya kepada yang namanya takhayul.
“Hehehe… Maaf Nek!”
Tiba-tiba Zafi sudah berdiri di pintu kamarku yang selama setahun ini tak pernah kututup. Tanya kenapa? Karena aku selalu menanti cucuku itu datang, berdiri di sana sambil mengatakan ‘Aku Pulang,’
Dan ternyata dia memang berdiri di sana, saat ini. Tampan sekali, dengan jas hitam dan dasi. Kedua tangannya menenteng bawaan yang agaknya cukup berat.
“Aku pulang,”
Bintang jatuh! Harapan menjadi nyata!
Zafi menghampiri kami. Sebentar ia mengecup dahiku yang penuh kerutan, dan membuat gerakan ingin mencium pipi Mila. Tapi Mila lebih dulu mengelak.
“Belum boleh,” Ujarnya sambil tersenyum.
Tinggal aku dan usiaku yang senja: melongo. Bingung.
“Jadi kapan aku bisa menikah?” Zafi mengusap rambutku penuh kasih. Aku hanya diam. Mencoba memahami semua ini – yang sungguh, lebih membingungkan daripada teka-teki silang. Belum lagi otakku pun sudah mulai senja, sesenja umurku, sesenja namaku. Tidak. Aku tidak mengerti.
‘KAMU TDAK BOLEH MENIKAH DENGAN WANITA SEMBARANGAN.’
Zafi tersenyum lagi, penuh misteri. “Aku tahu, Nek. Jadi kapan aku bisa menikah?”
Aku mengetik lagi, ‘KAMU BOLEH MENIKAH SETELAH NENEK MENGENAL WANITA ITU DAN MERESTUI HUBUNGAN KALIAN’
Zafi berhenti tersenyum, ia tertawa. “Apa satu tahun belum cukup untuk Nenek, mengenal calon istriku?”
Satu tahun? Apa maksudnya?
Mila mencubit bahu Zafi gemas, “Jangan bercanda lagi! Kasihan Nenek!”
“Hehe. Maaf sayang, maaf Nek.”
Pernahkah kamu mendengar petir di tengah hari yang cerah? Belum pernah? Kalau begitu bayangkan saja: Kira-kira apakah kamu akan terkejut? Kalau imajnasimu bagus, maka kamu akan bilang “Iya” dan kamu pasti mengerti bagaimana rasanya. Dan tidak main-main, detik ini aku merasakan petir menyambar dalam dadaku. DHUARR!! Aku terkejut.
Keyboard di atas selimutku merintih lagi, karena jemariku mengetik lebih cepat dan lebih keras. ‘DENGAN MILA?? KAMU??’
“Hehe,” Cucuku Zafi tertawa malu, memamerkan senyuman manja. Dasar!
Oke. Ini cukup memalukan untuk diceritakan. Tapi aku tak boleh berbohong dan menutupi semuanya. Aku, Si tomboy Senja kesayangan ayahku, gadis berkepang dua yang hampir tak pernah memakai rok, yang dulu senang memanjat pohon, berenang di sungai dan bermain layangan: Menangis hanya karena cucuku akan menikahi gadis baik yang setahun ini merawatku. Aku menangis terharu! Kacau!
Dengan senyum yang berserakan, Mila bercerita padaku, tentang rencana panjang yang disusun Zafi, cucuku yang nakal itu. Intinya adalah membuatku mengenal Mila, sekaligus menyayanginya agar aku tak menolaknya bila kelak ia menjadi istri cucuku. Cucu yang benar-benar menyayangiku, sampai-sampai ia tahu kehendakku, bahwa aku tak menginginkan wanita manapun sebagai istrinya kecuali yang kukenal, kusayangi dan menyayangi kami berdua. Alasan yang membuatnya meminta Mila bersabar menunggu, setahun lamanya hanya untuk mencuri hatiku.
Dernyata ia sibuk setahun ini bukan karena gila uang. Ia malahan sibuk menjual warisan almarhum anak-menantuku, dan menyumbangkan sebagian uangnya untuk panti asuhan. Ia sibuk menghabiskan uangnya untuk membangun yayasan kemanusiaan. “Tak ada gunanya banyak uang bila aku tak bisa membahagiakan Nenek dan Mila. Lebih baik warisan Papa dan Mama untuk membahagiakan orang lain saja.”
Tanganku gemetar, badanku sedikit lemas. Tapi tetap, dengan kesungguhan seorang Nenek dan tekad seorang mantan penulis, kuletakkan jemariku di atas keyboard dan mengetik.
‘KAU MENANG ANAK MUDA! KAU DAPAT RESTUKU!’
Zafi dan Mila tersenyum di hadapanku, menatapku dengan penuh kebahagiaan. Segera ia memeluk jasadku yang kurasa mulai berbau tanah, sambil berbisik bahwa ia rindu berat, padaku dan Mila. Dasar bocah. Aku juga rindu padamu, cucuku sayang.
 ##~~<3~~##
   Epilog
   
“Nenek Uyutt!”
            Rizki memangilku, cicitku yang baru 3 tahun umurnya. Ya, anak dari pernikahan Zafi dan Mila 4 tahun yang lalu.
            “Aku puyaang,”
Ujarnya sambil berlari dari pintu kamarku yang tak lagi pernah kukunci. Sebentar ia naik ke atas ranjangku, dan mencium dahiku. Aku tak bisa bicara lagi sekarang. Tapi aku masih bisa tersenyum, dan merengkuh cicitku itu. Bila boleh berkhayal bicaraku masih lancar, ingin rasanya kuucapkan sebaris kalimat pada Rizki. Sebaris saja.
“Seandainya Kamu tahu, Kamu sangat mirip dengan ayahmu anak muda!”
 ##~~<3~~##
Aku adalah Senja. Dan aku adalah Senja yang senja. Senja untuk namaku, dan senja untuk usiaku.

Follow Aul on twitter

Orang Asing Itu, Kupanggil Ibu

$
0
0

Oleh : Bety asya

        Hai, perkenalkan namaku Abygail balqis putri lazuardi, namaku yang asli sepertinya hanya balqis. Nama ibuku Abygail, ayahku lazuardi. Ya aku sebenarnya tak tau namaku artinya apa. Aku hanya menerka – nerka mungkin nama Abygail diambil dari nama ibuku yang meninggal karena infeksi postpartum yang dialaminya setelah beberapa hari melahirkanku, ayahku bilang nama balqis diambil dari nama ratu saba yang menjadi istri nabi sulaiman, diceritakan putri itu sangat cantik, mungkin ayahku ingin aku menjadi anak yang cantik dan mendapatkan calon suami yang baik seperti nabi sulaiman. Nama putri lazuardi artinya anak dari bapak lazuardi, ya nama ayahku lazuardi. Oke sepertinya stop mengenai perkenalan namaku. Sudah bulan Desember yah. Sebentar lagi hari ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember tiap tahunnya. Aku ingin bercerita tentang dia, ya dia, perempuan baru yang selama hampir 12 tahun ini menjadi ibuku.

         
Dia seorang bidan di rumah sakit tempat ayahku bekerja, ayahku berprofesi sebagai seorang dokter loh, ibuku juga seorang dokter. Ketika ayahku berkenalan dengannya ayahku masih menjadi dokter umum, namun sekarang sudah menjadi dokter spesialis kebidanan, nenekku bilang ayah mengambil spesialis kebidanan salah satunya karena ibuku meninggal akibat penatalaksanaan persalinan yang tidak benar sehingga mengakibatkan kematian. Padahal jika berpikir positif, hal itu memang sudah dituliskan oleh Tuhan bukan? Kapan seseorang meninggal, bagaimana cara meninggalnya, tanggalnya, harinya, jam, menit bahkan detiknya. Tapi tetap saja, menurut nenek, ayahku tetap menyalahkan penolong persalinannya.

Cerita dari nenekku, ayah bertemu dengan dia secara tidak sengaja. Dia bidan rekrutan baru di tahun 1993-an, usianya ketika itu baru 22 tahun. Orangnya tak begitu cantik tapi sangat baik. Nenekku bilang lebih cantik ibu kandungku, namun jika dari sikap dan sifatnya lebih baik dia. Dia anak pertama dari dua bersaudara, mungkin karena itu juga dia lebih terlihat bijaksana dibanding ibu kandungku yang notabene anak bontot. Cerita dari nenek lagi nih, dulu ketika pertama kali ayah memperkenalkan dia pada keluarga, dan dia ikut serta dalam jamuan makan malam bersama keluarga kami nenek sudah yakin dia akan menjadi pasangan yang mampu melengkapi ayah, juga mampu menjadi ibu yang baik bagiku, nenek juga bilang aku juga menyukainya, baru pertama kali kenal dia sudah seperti lama mengenalku, mungkin karena profesi dia sebagai bidan yang membuatnya seperti itu. Dari cerita yang banyak aku dengar, sebelum ayahku melamar dia dan meminta dia untuk menjadi ibuku, sudah ada seorang dokter yang juga bekerja di rumahsakit itu yang dekat dengannya juga ingin melamarnya, yang lebih penting lagi dokter muda itu masih bujang tak seperti ayahku yang sudah membawa buntut, ya aku ini tapi dia tetap memilih ayahku untuk menjadi calon suaminya.

Hanya selang beberapa bulan dari perkenalan pertamanya dengan keluarga besarku, ayah melamar dia. Ketika pelamaran, nenek bilang semua keluarga senang karena aku dan ayahku sebentar lagi ada yang merawat. Aku ada yang menjaga selagi ayahku melanjutkan study spesialis kebidanannya yang pastinya membutuhkan waktu diluar lebih lama dan pastinya aku akan ditinggal sendirian. Tepat usiaku 5 tahun ketika dia menikah dengan ayahku, tanggal pernikahan sengaja disamakan dengan tanggal ulang tahunku, aku tak tau mengapa begitu, tapi yasudahlah aku tak banyak bertanya. Pernikan ayah dan dia tak begitu meriah, hanya pesta sederhana yang diadakan di halaman rumah ibunya, temanya seperti pesta kebun, dia yang meminta begitu. Ketika nenek menawarkan seperti apa konsep pernikahannya, dia hanya meminta yang sederhana, yang tak terlalu merepotkan banyak pihak, “kan yang penting pernikahan kami bahagia bu, tak perlu pesta yang meriah, yang penting tamu yang hadir mau merestui dan mendoakan kami untuk hidup bersama bu". Dia hanya menjawab seperti itu ketika nenek menawarkan beberapa konsep pesta yang bisa dipakai.

Akhirnya hari itu tiba juga, meski samar – samar ku mengingatnya, aku masih menyimpan wajahnya ketika hari pernikahan di otakku. Dia begitu cantik, seperti bidadari yang turun dari khayangan untukku dan juga ayahku, ya meski aku belum pernah melihat bidadari sebelumnya, tapi yang ada di otakku bidadari ya seperti dia.

Satu tahun berselang dari pernikahan ayah dan dia, aku diberi adik kecil, perempuan, dia lucu, cantik, matanya besar. Tapi sejak dia datang ke dunia ini aku mulai agak membencinya, aku mulai merasakan memiliki saingan pembagian kasih sayang. Aku yang ketika itu baru masuk SD merasa semua perhatian orang rumah sedang berpaling ke arahnya, padahal masa SD menurutku masa ketika aku membutuhkan banyak perhatian. Aku mulai bertindak seenaknya. Saat pulang sekolah aku melempar semua barang dan sepatuku sembarangan lalu aku menutup pintu kamar dengan amat keras. Dia, wanita itu yang saat itu sudah pulang hanya tersenyum dan membereskan barang – barangku yang berserakan tanpa menyuruh pembantuku untuk membereskan, aku hanya melihatnya dari balik pintu kamar yang kubuka sedikit. Aneh, pikiru. Dia tak memarahiku, bahkan dia tersenyum.

Dia tak pernah menyuruhku untuk belajar dengan keras demi mendapatkan nilai yang bagus, dia juga tidak pernah memarahiku karena aku mendapat nilai jelek ketika ulangan, apalagi memukulku. Aku ingat ketika ayah baru saja pulang dari dinasnya, mewakili rumah sakit untuk pelatihan yang diadakan oleh pemerintah. Tanpa aku memerdulikan ayahku lelah atau tidak, aku langsung mengajaknya untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah tas yang aku inginkan. Teman-temanku sudah memilikinya, dan aku juga ingin memilikinya, aku deskripsikan betapa bagusnya tas itu, “warnanya merah muda, ada gambar princess di depannya yah, aku mau itu, sekarang yuk pergi kesananya”, ayahku hanya menjawab,”ayah cape nak, besok saja yah”. Tapi aku yang ketika itu tak mengerti keadaan ayah terus saja merengek dan akhirnya ayah pun memarahiku, dia tak ikut memarahiku, dia hanya saja menenangkan ayahku agar tidak memarahiku,”Aby sayang, belinya besok saja yah kalau ayah sudah istirahat, ayah lelah sekali sayang”, katanya. Tapi yang namanya aku, keras kepala dan mau enaknya saja malah tak memedulikannya dan langsung menutup pintu kamar dengan keras. Esok harinya, ketika aku pulang sekolah, dengan terlebih dahulu melempar barang bawaanku seenaknya aku masuk kamar dan kulihat di atas tempat tidurku ada kotak, dibungkus kertas kado warna merah muda, warna kesukaanku. Kubuka, dan tara aku dapati tas yang aku inginkan dan aku ceritakan kemarin pada ayah sudah ada dihadapanku. Ada kartu ucapan juga didalamnya. Isinya kurang lebih seperti ini.
“buat kakak Aby sayang, jangan ngambek lagi ya sama ayah, ayah minta maaf, minggu depan kita jalan – jalan ya sama ibu juga dedek Kirana, ayah sayang sama kakak Aby” tanpa kuketahui ternyata ada sepasang mata yang memperhatikanku dari luar kamar, dan dia tersenyum.

Aku ingat lagi, dulu ketika aku ketahuan membolos sekolah ayah juga memarahiku, dan lagi – lagi ya dia, wanita itu yang menenangkan ayah dan coba menghiburku. Dia hanya bilang,”ayah juga dulu pernah muda kan, pernah jadi anak bandel, biarkan Aby begitu yah”.Sebenarnya banyak  lagi hal yang ia lakukan untuk menyelamatkan hidupku dari marahnya ayahku, tapi tetap saja, aku ya aku, anak pembangkang yang tak pernah menganggap dia, apalagi ketika adikku –adik tiriku maksudnya- masuk TK untuk pertama kali, ayah dan dia mengantarnya, semua keperluannya dibeli seminggu sebelum Kiran resmi masuk TK. Aku juga ikut saat Kiran membeli alat-alatnya. Dia juga menanyakan banyak hal tentang apa yang seharusnya dia lakukan ketika dia masuk TK. Sebenarnya kadang aku pikir otak dia itu cerdas, dia baru saja akan masuk ke TK tapi rasanya otaknya berjalan tak sesuai dengan usianya. Pengetahuannya luas, mungkin efek dari ibunya yang juga pintar –kalo ini ayah yang bilang kalo perempuan itu pintar- . bayangkan saja, baru mau masuk TK ia menanyakan,”bagaimana nanti aku bersikap ke teman-teman dikelas ya kak? Emm nanti aku disana punya teman yang enak diajak ngobrol kaya kakak gak yah? Atau nanti kalau aku udah mulai masuk TK yang nemenin kakak dirumah siapa? Yang bantu emba –pembantu- nyiram tanaman siapa? Yang bantu nyiapin sepatu kakak kalau mau sekolah siapa? Aku kan juga pasti nyiapin keperluan aku sendiri yah, kasian ibu kalau mesti nyiapin peralatan kita berdua, belum lagi ibu pasti juga nyiapin sarapan sama bekel makanan buat ayah and bla bla bla”  aku hanya diam saja mendengarkan ocehannya. Lalu dia, ibunya,  yang memberitahu bahwa aku sedang tak enak badan jadi jangan diajak bicara terlalu lama,  Kiran lalu keluar dari kamarku menyuruhku untuk istirahat, dia juga menyelimutiku. Padahal saat itu aku sedang sehat – sehat saja, aku hanya malas menjawab semua pertanyaannya.

Aku berbeda 6 tahun dengan Kiran -nama panggilan adik tiriku-, ketika Kiran duduk di kelas 2 SD dan itu berarti aku duduk di kelas 2 SMP, dia hamil lagi, kulihat betapa bahagianya Kiran. Aku yang merasa tidak senang dengan berita bahagia itu mengunci pintu seharian dikamar.

Kiran yang berusaha mengetok-ketok pintu kamarku tiap jam makan tiba, kudengar percakapan dia dari luar kamar,”bu kak Aby belum makan dari tadi, kasihan dia sakit yah bu? Ini Kiran udah bikini kaka bi telur dadar kesukaannya, pasti dia mau makan deh”,

Dia hanya menjawab,”mungkin kak Aby sedang banyak tugas sayang, biasanya kalau sudah banyak tugas kak Aby memang suka lupa makan”, ucapnya menenangkan Kiran.

“tapi bu, yang namanya orang ngerjain tugas itu butuh asupan makanan yang banyak, dari buku yang Kiran baca orang mikir itu butuh tenaga yang ekstra loh, coba Tanya ayah kalau gak percaya”, kata Kiran membela diri.

Nah kan apa aku bilang, dia memang ta seperti anak seusianya, pikirannya panjang, buku bacaannya buku ayah. Tanpa pikir panjang langsung saja aku buka pintu dan menyuruh dia masuk. Akhirnya dia bisa bermain-main dikamarku, yang sebelumnya kutulis didepan pintu, “tak boleh masuk tanpa seizin ABY”. Kiran menanyakan sedang apa aku sebenarnya, langsung saja aku pura-pura menuju meja belajar dan membuka buku. Dia terus saja berbicara ini itu sambil menyuapiku. Aku berniat menanyakan sesuatu padanya.

“kamu seneng yah mau punya adik?”,tanyaku

“ya jelas senang lah kak, nanti kan rumah kita jadi ramai, gak cuma ada aku, kakak, ayah, ibu sama emba Innahh doang. Apalagi kalau adik kita nanti laki-laki, wah pasti ramai rumah ini, nanti kalau dia sudah besar bisa menjaga kita berdua juga ibu kalau ayah lagi gak dirumah kak, ini kak sambil makan ya,”, Kiran menyuapiku,”kakak seneng gak mau punya adik?”

Hampir saja aku tersedak mendengar ucapannya, aku hanya mengangguk saja. “nah kak udah abis, aku mau keluar dulu ya bantu ibu masak buat ulang tahun ayah” seketika aku tersadar. Ya ampun aku lupa hari ini ulang tahun ayah, seketika juga aku ikut keluar bersama Kiran untuk membantu ibunya menyiapkan pesta kejutan kecil untuk ayah, tadinya Kiran menolak aku membantunya karena dia pikir aku benar-benar sedang banyak tugas dari sekolah. Tapi setelah aku meyakinkan bahwa tugasku sudah selesai dia baru mau membiarkan aku untuk membantu.

Dia, perempuan itu memang pintar dalam beberapa bidang. Sekarang saja, dibantu mba Innahh dia sudah menyelesaikan sebuah kue tart cokelat, bertuliskan “HAPPY BIRTHDAY AYAH, WE LOVE YOU” dan menaruhnya di kulkas agar tetap dingin. Ayam kecap kesukaan ayah juga sudah jadi, telur dadar isi cornet kesukaanku juga tak lupa ia buatkan. Sebenarnya aku mengakui kalau dia memang pantas untuk ayah dan untukku, namun aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Tak terasa air mataku meleleh, Kiran yang melihat langsung berkomentar,”nah kan nangis, makanya jangan iris bawang merah kalau belum biasa kakak, udah sana kakak ke ruang makan aja bantuin ibu rapihin meja, biar kau yang bantuin mba Innahh”, dan aku pun hanya mengangguk, bersyukur Kiran tidak menanyakan mengapa aku menangis karena aku memang sedang mengiris bawang.

Aku menuju ruang makan, disitu sudah tertata dengan cantik piring, sendok dan makanan lainnya. Aku baru ingat, setiap ulang tahunku sebenarnya juga dia membuat kue tart cokelat sama seperti yang dia buat sekarang ini, tapi aku tak pernah menyadarinya.

Beralih lagi cerita tentang dia, sejak kelahiran anak keduanya rasa sayangnya padaku juga tak berubah, dia makin memperhatikanku. Terlebih ketika itu aku sudah mulai masuk SMP. Aku ingat dia yang dengan sangat sibuk mencarikan sekolah negri yang sudah bertaraf internasional untukku. Dan Alhamdulillah akupun diterima di SMP negeri 1 di kotaku. Seharusnya aku berterimakasih padanya, namun belum sekalipun aku mengucapkan rasa terimakasihku padanya.

Kemarin, aku mendapatkan tugas dari sekolah untuk mengerjakan paper tentang system reproduksi manusia, tugas itu harus diketik, saat itu juga computer yang ada dikamarku rusak karena aku terkadang bermain internet sampai lupa waktu jadi banyak virus yang bersarang disana. Dia menawarkan aku untuk memakai laptopnya juga menawarkan untuk membantu mengerjakan tugas itu, karena memang dia sepertinya ahli di bidang itu kan. Tapi aku hanya menerima tawaran untuk memakai laptopnya. Dia memberi tahu password untuk masuk ke laptopnya.

Setelah selesai mengerjakan tugas ada rasa penasaran untuk melihat-lihat isi dari laptopnya. Aku mulai dari melihat foto-foto. Kubuka folder satupersatu. Ada folder bertuliskan “MY HEART” dalam hati “ini perempuan apa deh bikin nama folder begini” waktu aku lihat-lihat isinya, ada 5 folder, yang pertama “FAMILY” “LAZANDA” “ABY” “KIRANA” “JARIS” . wah ada folder bertuliskan namaku, makin penasaran akhirnya kau buka folder itu, hampir semua foto disitu diambil dalam keadaan aku tak sadar bahwa aku sedang difoto. Ada yang dari samping ada yang dari belakang ada yang aku tertawa lepas ada pula yang aku sedang merengut ataupun menangis, ada juga foto ketika aku TK, SD, SMP. Dia menyimpannya dengan sangat rapih. Bahkan aku saja tak punya koleksi foto sebanyak itu. Kulihat banyak foto graduation ku. Dia ternyata sudah berperan seperti ibu kandungku sendiri, tak membedakan aku dengan Kiran ataupun Jaris, buktinya dia juga membuat satu folder berisi aku semua. Setelah melihat semua foto-foto aku beralih ke dokumen. Sebenarnya sih ada rasa enggan untuk melihat – lihat. Tapi karena rasa penasaran pada folder yang bertittle “STORY” akupun membukanya. Disitu dia menceritakan semua hal yang ia alami sejak ia dibangku kuliah. Mulai dari dia tak pernah pacaran saat kuliah, dan aku baru tahu bahwa ayahku adalah yang pertama untuknya, dan aku juga baru tahu ternyata mereka tidak pacaran, dia dikenalkan pada ayahku oleh temannya, lalu ayahku memberanikan diri untuk melamarnya meski belum mengenal begitu lama. Dia menuliskan mengapa dia memilih ayahku bukan dokter yang dikabarkan menaruh hati padanya.

Setelah melakukan komunikasi dengan Allah dengan beristikharoh, aku yakin dia pilihan yang tepat untukku, menjadi suamiku, pendamping hidupku. Meski aku belum mengenalnya lama, namun aku merasa dia yang memang Allah takdirkan untuk menjadi imamku, menjadi suami juga menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Aku tinggalkan dokter Randy yang sebelumnya juga mengisyaratkan ingin menjadi pendampingku. Aku lebih memilih duda dengan bidadari kecil yang dibawanya. Mungkin ini memang jalan yang Allah tunjukkan untukku. Tadi ketika aku diajak pertama kali untuk makan malam bersama keluarganya, ibunya sepertinya menyukai aku, anaknya yang masih kecil dan lucu itu juga sepertinya bisa menerimaku untuk menjadi ibunya. Semoga ini memang rencana indah yang sudah Allah gariskan untukku, semoga aku bisa menjaga amanah yang Kau berikan untuk menjadi istri yang baik juga menjadi ibu yang baik bagi Aby dan anak-anakku kelak. AMIN

Kubaca itu, air mataku pun meleleh. Ternyata dia sangat menyayangi ayahku dan juga aku meski aku bukan anak kandungnya. Kubuka lagi beberapa word yang ada di folder itu. Disitu dia menuliskan

Sekarang aku sedang mengandung anak pertamaku, aku takut nanti ketika anak ini lahir aku membedakan rasa sayangku padanya dan pada anak kandungku. Ya Allah, tolong jaga perasaan ini agar dapat berbuat adil dalam menyayanginya juga menyayangi calon anakku. AMIN

Hari ini ulang tahunnya yang ke-6  juga ulang tahun pertama pernikahanku dengan mas Lazu. Hari ini juga aku resmi menjadi seorang perempuan seutuhnya, dengan perjuangan yang aku rasakan sejak kemarin sore akhirnya tadi pagi pukul 09.01 wib aku berhasil melahirkan seorang bayi cantik, dia lucu sekali, matanya besar, sudah ada lesung pipi di pipi kanannya. “Manis, wajahnya seperti Aby ketika ia kecil”, kata mas lazu. Sejak tahu aku hamil, aku memang berdoa semoga anak ini lahir pada tanggal yang sama dengan pernikahan aku dengan mas Lazu, juga ulang tahun Aby. Allah memang Maha Pemberi, Dia menjabah doaku. Lengkaplah sudah keluarga kecil kami. Seharusnya aku sudah boleh pulang, namun sepertinya mas Lazu khawatir akan keadaanku, dia tidak membolehkan aku pulang dan benar-benar memantau perkembanganku di Rumah Sakit. Mungkin mas Lazu takut aku juga terkena infeksi postpartum seperti ibunya Aby. Padahal aku sangat rindu pada Aby, aku khawatir siapa yang akan menyiapkan telur dadar untuk sarapannya, telur dadar buatan mba Innahh dia agak kurang suka, dia bilang tidak seenak buatanku, padahal dia tak tahu kalau aku yang buat, yang dia tahu kalau telur dadar yang enak itu ya mba Innahh yang buat, dan yang tidak enak itu aku yang buat, lucu memang tapi aku biarkan saja, hehe. Gara-gara aku tak boleh pulang dulu, jadi aku meminta mas Lazu untuk membawakan leptop ini ke Rumah Sakit, tadinya mas Lazu tak mau, tapi setelah kubujuk akhirnya dia mau juga. Baru saja aku menyusukan bayiku, kuat sekali dia menyusunya, dan sekarang dia sedang terlelap di box bayi samping tempat tidurku jadi aku bisa mengetik semua perasaanku sekarang disini. Semoga besok mas Lazu mengizinkan aku pulang, aku rindu rumah.

Benar saja, hari ini aku sudah kembali ke istana kecil keluarga kami. Setelah aku melancarkan rayuan maut pada mas Lazu, dan kuminta pada dokter Dewi untuk meyakinkan mas Lazu bahwa aku baik-baik saja akhirnya aku boleh pulang. Aku terkadang heran pada mas Lazu, dia kan dokter spesialis kebidanan tapi rasa khawatirnya pada istrinya sendiri yang juga seorang bidan terlalu besar. Padahal ia mengerti ilmunya, hemm. Mungkin dia masih trauma karena meninggalnya ibu Aby karena infeksi postpartum. Tapi aku senang kok diperhatikan seperti itu. Hari ini aku belum melihat Aby, mungkin dia belum pulang sekolah, tapi tak seperti biasanya jam segini dia belum pulang. Kucoba mendekati pintu kamarnya, kuintip dari celah pintu, dan ternyata dia sudah tertidur pulas dikasurnya. Aku coba masuk ke kamarnya, meski di pintu kamarrnya ada tulisan “tidak boleh masuk tanpa seizing ABY” tetap saja aku masuk, aku rindu sudah 2 hari tak bertemu dengannya. Kututupi badannya dengan selimut, suhu AC dikamarnya terlalu dingin sehingga aku naikkan suhunya. Dia tak sedikitpun bergerak. Ku kecup dahinya sambil berkata “I LOVE YOU DEAR” beruntung dia tak bangun. Biasanya kukecup dia setiap malam sebelum aku tidur karena dia pasti sudah tidur lebih dulu, sekaligus aku memastikan dia sudah tidur atau belum juga membetulkan letak selimutnya yang biasanya sudah terjatuh karena tidurnya sangat aktif. Saat makan malam aby hanya diam saja, aku khawatir dia kenapa-kenapa. Kutanyakan ,”aby kenapa? Mau tante suapin?” tapi dia hanya diam saja, jadi aku tak mau memaksanya untuk menjawab. Tante? Ya aku memang tak memaksakan dia untuk memanggilku dengan sebutan mama, ibu, buda atau sebagainya. Jadi sampai sekarang dia masih memanggilku dengan sebutan tante. Aku tak keberatan, namun aku selalu berharap suatu hari nanti dia akan memanggilku dengan sebutan ibu. Seperti anak-anakku yang lain.

Dan air mataku pun mulai menetes deras. Aku tak menyangka ia tulis semua yang dia rasakan disini. Kubaca satu persatu ceritanya.

Sebenarnya aku kasihan pada mas lazu yang baru saja pulang dinas, tapi aku juga kasihan juga kesal ketika ia memarahi Aby yang meminta untuk dibelikan tas princess namun inginnya hari kemarin juga. Anak kecil seperti itu kan belum mengerti apa yang dilakukan orang dewasa, tapi mas lazu tetap saja tidak mengerti. Esoknya saat istirahat siang, aku pergi ke mall dekat rumah sakit untuk membeli tas yang diinginkannya, kubungkus dengan kertas kado teddybear warna merah muda kesukaannya. Semoga ia suka. Tak lupa aku taruh kartu ucapan agar seolah-olah mas lazu yang membelinya. Dan yang aku harapkan pun terwujud, tadi siang ketika ia pulang sekolah dan seperti biasa ia lempar barang barang bawaannya dan langsung masuk ke kamar, kulihat dari celah pintu ia tersenyum melihat ada bingkisan yang isinya tas yang aku beli tadi siang. Bahagia rasanya hati ini melihat anakku tersenyum.

Aku mulai khawatir pada Kiran yang terus saja menanyakan mengapa Aby bersikap seperti tak menyukainya. Anakku Kiran memang anak yang kritis, dia pasti menanyakan hal-hal yang dia rasakan dan yang ingin dia tahu. Bagaimana aku menjelaskan pada Kiran. Selama ini kalau dia tanya, ”bu kenapa ya kak aby kok gitu sama Kiran, gak mau kalau Kiran ajak main” aku hanya jawab mungkin kakakmu sedang sibuk sayang. Hanya itu jawaban yang menurutku paling tepat. Setiap aku jawab itu pasti Kiran langsung tanya lagi, “kok kak aby sibuk banget ya bu” dan masih banyak lagi pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya.

5 Desember 2010
"Nikmat Allah yang manakah yang kau dustakan ?"
Rasa syukur selalu tercurahkan padaMu yang Maha pemberi hidup. Anakku Aby semakin besar, begitu juga Kiran juga Jaris. Semoga semakin bertambahnya usia, mereka semakin mengerti untuk apa mereka diciptakan oleh-Mu. Aku ingin mendampingi mereka sampai mereka mendapatkan pendamping masing-masing yang bisa menggantikan aku untuk menjalani kehidupannya. Terimakasih Allah telah memberiku bidadari dan bidadara cantik soleh juga solehah dan mengizinkan aku untuk menjadi bagian dari kehidupan mereka. Berilah kebahagiaan bagi keluarga kecil kami. Berilah keberkahan pada mas Lazu yang menjadi kepala keluarga bagi kami. Sebentar lagi hari ibu, aku sudah dapat menduga pasti Kiran akan memberikan kartu ucapan yang manis juga kado yang dia buat sendiri, sementara jaris yang masih kecil hanya ikut bertepuk tangan saja ketika Kiran menyanyikan lagu ciptaannya untukku. Kuharap ditahun ini ada kejutan kecil yang membuatku tak hentinya untuk berterimakasih padamu Yaa Allah.

Ya Allah, jahat sekali aku ini. Dia sudah mencoba menjadi yang terbaik tapi aku malah tak memperdulikannya. Aku terlalu percaya akan omongan orang bahwa ibu tiri itu jahat, hanya sayang pada ayah juga anaknya saja, tapi aku percaya dia memang ditakdirkan untuk menjadi pendamping ayah juga menjadi ibu untukku Kiran, juga jaris. Pantas saja nenek dulu langsung menyetujui dia untuk menjadi pangganti ibu kandungku. Aku menangis tersedu dikamar. Untung saja dia sedang ada pasien yang melahirkan jadi tak ada dirumah, dia sedang bersama ayah menolong kelahiran calon bidadari-bidadara cantik untuk keluar dari persembunyiannya di dalam rahim. Kututup segera laptop yang ada dihadapanku. Aku mulai berpikir untuk memberi kejutan kecil untuknya di hari ibu tahun ini. Segera kucari Kiran dan jaris. Kiran sedang berada di kamarnya, sepertinya dia sedang membuat sesuatu. Kuketuk pintu kamarnya.

“masuk kak”, katanya.

Aku langsung masuk ke kamarnya. Baru kali ini aku masuk ke kamarnya, maksudnya baru benar-benar masuk, duduk dan memperhatikan apa yang ada disekeliling. Kulihat didinding ada banyak foto. Foto itu sama seperti yang aku lihat di laptop ibunya, dibawah foto tertulis tanggal, tempat dan usia Kiran ketika  foto itu diambil. Lengkap, kulihat disudut kamar diatas meja kecil juga ada foto kami sekeluarga ketika berlibur ke rumah nenek di Bogor. Semuanya lengkap, dia menulis di dinding diatas meja itu “MY LIFE, MY LOVE, MY HEART”. “Kiran, mirip sekali kamu dengan ibumu” batinku.

“kak, ngapain? Tumben mau masuk ke kamar aku, Kiran seneng deh.” Katanya sambil jari-jarinya asik memotong-motong kertas warna-warni.

“gak apa-apa kan kakak main kesini?” ucapku kemudian, tapi tunggu dulu, “aku bilang kakak barusan? Apa karena setelah membaca tulisan ibu tiriku aku jadi sadar bahwa aku punya adik yang lucu seperti ini?” batinku

“ya gak apa-apa lah kak, kakak boleh kok main kapan aja ke kamar aku, anggep aja kaya kamar sendiri, tapi jangan marah ya kak kalo aku cuekin, aku lagi sibuk bikin kartu ucapan buat ibu nih”. Ucapnya polos.

Ya Allah, seketika air mataku mulai meleleh, aku baru sadar kalau dirumah ini ada banyak kehidupan, tak hanya terpaku hanya aku, ayah juga ibu tiriku.

Esok hari tanggal 22, aku ingin sekali memberikan sesuatu pada dia, ibu tiri yang selama ini aku panggil tante, ibu tiri yang selama ini menyayangiku tapi aku tak pernah mengerti dia menyayangiku dan bahkan tak mau mengerti. Aku ingin memberi hadiah kecil yang mungkin sangat berarti baginya.

Kubuka dompetku, hanya ada uang sekitar 100ribu dan beberapa lembar ribuan. Kuputar otak, apa yang akan aku lakukan dengan uang itu? Kutelpon temanku Tyas, Enit, Tiara juga Tara. Aku memintanya untuk menemaniku membeli kue cokelat kecil, untung saja di toko langganan Tyas masih ada kue yang siap beli tanpa harus memesannya lebih dahulu, aku merequest pada mba-mba di toko untuk menuliskan “I love you ibu, I love you ibu, I love you ibu” from ABY. Kuharap dia senang dengan pemberianku itu. Segera aku pulang kerumah sebelum dia dan ayah pulang, kuajak teman-temanku untuk membantuku. Tyas menjadi cameramen, aku berniat membuat sebuah video, isinya aku mengucapkan selamat hari ibu untuknya, hanya berdurasi sekitar 30 detik, tapi kuharap dia suka.

Aku juga menyiapkan kartu ucapan untuknya. kutulis
Terimakasih untukmu tante yang sudah mau menjadi ibuku selama 12 tahun ini
Terimakasih telah menjadi istri yang baik bagi ayahku
Terimakasih telah mencoba menjadi ibu yang baik bagiku
Terimakasih telah melahirkan adik-adik yang lucu dan pintar untukku
Aku minta maaf bila sejak kecil aku merepotkanmu, tante
Aku memang tak mau ada yang menggantikan posisi ibuku dikehidupanku
Tapi sekarang aku sadar, ini kehidupan kita sekarang
Ibuku juga pasti sudah tenang jika tahu yang menjadi penggantinya adalah perempuan cantik dan pintar sepertimu
Aku tahu tante sangat sayang padaku, tapi aku yang tak menyadarinya
Ternyata selama ini telur dadar yang aku bilang enak itu buatan tante kan, buka mba Innahh
Ternyata yang membelikanku tas princess merah muda itu tante bukan ayah, pantas saja ketika aku tanya ayah terlihat bingung
Terimakasih tante untuk semua yang kau usahakan untukku
Satu yang mau aku tanyakan
Bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan ibu?

Salam sayang
ABY

Kulipat kartu ucapan itu, kutaruh kue yang tadi aku beli di lemari es kamar sebelum kutaruh di kamar ayah dan dia siang nanti sepulang sekolah. Aku juga sudah meminta bantuan teman-temanku untuk memburning video yang aku buat kemarin. Kutulis di cover depan “ with love, from your angel” tak lupa aku juga membelikannya sebuah bros berwarna putih permata berbentuk hati.

Aku tak sabar menunggu hari ini, semalaman aku tak dapat tidur. Hari ini aku pulang agak telat dari biasanya, di SMA ku sedang ada pemadatan pelajaran. Aku khawatir aku tiba dirumah ketika semua sudah pulang. Namun yang aku khawatirkan tak terjadi, dirumah masih sepi hanya ada mba Innahh (pembantu yang sudah lama ikut keluargaku) juga Jaris yang sedang tidur pulas dikamarnya. Sementara Kiran pasti belum pulang dari sekolahnya, dia baru pulang sekitar pukul 5 sore. Lalu ayah? Setahu aku ayah hari ini izin sehari. Kulihat papan pemberitahuan  disamping kulkas. Kubaca ada tulisan dari Dia “maaf sayang, ibu ada panggilan mendadak dari rumah sakit, pasien sedang banyak, teman-teman ibu sedang ada pelatihan, jadi ibu yang menggantikan, camilan sudah ibu buat ada dikulkas, baik-baik ya dirumah” ada lagi dari ayah “ayah hari ini menemani ibu, ayah takut ibu capai hehehe sun sayang dari ayah mmmuach” . ah dasar ayahku, bilang saja mau berduaan dengan ibu.

Tanpa pikir panjang kuambil semua kado yang akan aku berikan pada ibu tiriku itu. Kubuka kamarnya, kutaruh kartu ucapan juga CD diatas kasurnya, ternyata disana sudah ada kado dari Kiran. Kubuka kulkas dikamarnya, sudah ada cake cokelat sepertinya itu juga dari Kiran, kutaruh kueku disamping kue dari Kiran. Aku langsung keluar tanpa meninggalkan jejak dari kamar.

Malam tiba, kulihat mobil ayahku masuk halaman depan. Kulihat jam sudah pukul 10 malam, pasti mereka lelah sekali baru pulang. Kudengar dari ruang tamu ibu tiriku menanyakan pada ayah akan langsung mandi atau tidak. Ayah bilang mau langsung mandi soalnya sudah tak sabar mau bertemu kita bertiga dikamar masing-masing. Dia lalu bilang mau menyiapkan air hangat. Kudengar pintu kamarnya dibuka. Dia langsung dengan terkejut langsung keluar lagi dan memberitahu ayah yang sedang mengambil air minum di dapur dan menyodorkan kado-kado yang ada diatas kasurnya. “ada CD juga nih yah, mau nonton juga gak? Dari siapa ya?” kudengar dia menanyakan itu pada ayah. “Tumben Kiran tahun ini banyak banget kasih hadiahnya” hanya itu tanggapan ayah, “ayo kita tonton aja” kulihat dari celah pintu kamarku ayah menyalakan DVD player di ruang TV, lalu mereka menonton video berdurasi 30 detik yang kubuat itu. Kulihat ibu tiriku berkaca-kaca, aku tak tahu apa dia senang dengan kado yang aku berikan. Kulihat dia bergegas menuju kamarku, aku langsung secepat kilat naik ke tempat tidur dan berpura-pura tidur. Dia masuk kamar, dan seperti yang biasa dia lakukan dan aku tak mengetahuinya, mencium keningku dan mengatakan “I LOVE YOU DEAR” sambil mengusap kepalaku dia mendoakan, “semoga keberkahan selalu tercurah atasmu sayang” belum sempat dia pergi kubuka mataku dan kupeluk dia erat, meski aku tahu dia belum mandi tapi dia tak bau. Kuucapkan I love you, ibu. “aku boleh panggil tante ibu kan” dia hanya mengangguk sambil meneteskan air mata juga mengucap syukur pada Allah swt, tak lama kemudian ayahku masuk ke kamar. Kami pun berpelukan bertiga. Kiran dan jaris yang mendengar suara kami bertigapun datang menghampiri kami. Dan kamipun berpelukan. Ayah dan ibu lalu mandi setelah itu ayah menyiapkan pesta kecil untuk merayakan hari ibu. Kami berenam (mba Innahh juga ikutan loh) berkumpul di ruang makan, kami makan bersama-sama meski hari sudah larut. Kuberkata dalam hati,”mengapa baru terbuka mataku ya Allah, aku sungguh berterimakasih ada dalam keluarga ini”.

Sampai disini dulu ya ceritaku. Bagaimana ceritamu? Adakah kamu yang membaca ini punya juga cerita yang sama sepertiku? Kalau iya, sayangi juga ya ibu tirimu. Meski bukan dia yang melahirkanmu, dia orang asing yang pastinya baru datang dikehidupanmu dan memberi warna yang indah dikehidupanmu. Tak semua ibu tiri itu kejam, aku sedah menemukan ibu tiri yang seperti bidadari. Cerita ibu tiri kejam mungkin hanya ada di negri dongang saja.
 
oh iya, buat kamu yang masih mepunyai ibu kandung, sayangi dia yah selagi dia ada. nanti kalau ibu sudah tiada kamu akan merasakan sendiri bagaimana rasanya. ingat penyesalan itu tak pernah datang diawal :D

Lima

$
0
0
Oleh: Didimz



     “Maaf”
   Kurasa hanya itu yang bisa terucap dibibir tipisnya. Dia diam seribu bahasa, membiarkanku berdiri terpatung disana, sendiri bersama hujan. Aku tak bisa menatap wajahnya, -takkan sanggup menahan gejolak yang bergemuruh didalam hatiku. Setelahnya, dia pergi, dan mungkin tak akan kembali kedalam kehidupanku, entah sampai kapan.
***
     Malam itu hujan turun membasahi kota, membuat langit seutuhnya gelap berguntur. Cahaya berpendar dari lampu lampu penerang jalan, membuat jalanan basah mengkilap. Aku terjebak diantara kerumunan orang yang memenuhi halte bus, menunggu bus lewat atau hanya berteduh, mencari perlindungan dari derasnya hujan yang turun dari langit. Sudah Empat puluh lima menit aku disini, membiarkan dingin menusuk kulitku sampai keakarnya. Aku masih menunggunya disini. Setiap tanggal lima dibulan lima setiap tahunnya. Ditempat pertama aku mengenalnya dan ditempat terakhir aku berpisah dengannya, di Halte 5 ini.
     Semuanya masih tampak seperti Tujuh tahun yang lalu, saat aku melihat sepasang bola mata yang indah itu, saat kulihat rambutnya yang panjang hitam, saat kulihat bibirnya yang tipis merah delima, aku terpana, aku dilema.
    Namanya Lima, bukan sebuah angka, tapi sebuah nama. Lima Melati. Rupanya seindah namanya. Oval dengan hidung mancung, tulang pipi menonjol dan dagu yang tajam, sepasang alis tebal dan tatapan matanya yang dalam – bahkan terlalu dalam. Dia keturunan orang Arab, tapi berkulit putih. Ayahnya seorang pengusaha, ibunya seorang pembawa berita dari sebuah stasiun televisi swasta.
    Dari sanalah aku mulai merasakan cinta dimasa mudaku –saat cinta baginya hanyalah sebuah kata yang bisa dipermainkan, tetapi tidak bagiku.
     “Bahagia itu sederhana. Bahagia bagiku cukup hanya dengan bersamamu” Katanya ditahun pertama kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota sepulang sekolah.
     Aku hanya mencium dagunya
    “Bahagia itu relatif. Berbeda untuk setiap orang. Sekarang aku sudah cukup bahagia” Katanya ditahun kedua kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Sepulang Aku Menjemputnya dari Les Pianonya.
     Aku hanya memeluknya sebentar
     “Bahagia itu sedikit rumit. Cukup sulit untuk mendefinisikan bahagia saat ini” Katanya ditahun ketiga kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota saat aku mengajaknya makan malam yang mungkin amat teramat special bagiku.
     Aku hanya tersenyum mendengarnya
   “Bahagia itu rumit. Setelah kurasakan perlahan lahan aku ternyata keliru mendefinisikannya dahulu” Katanya ditahun keempat kami menjalin cinta. Ditempat yang sama. Menunggu bis kota saat kutemani dia membeli buku ditoko buku.
     Aku hanya bisa terdiam mendengarnya.
***
     Malam ini aku disini, ditempat pertama aku bertemu lima, ditengah aku bertemu lima, diujung aku bertemu lima. Mengenang masa dahulu –yang tak sempat dan tak dapat aku hapus dari memori ingatanku…

Medan, diujung senja. 05-05-2012



Yogie And The Shiny Land - Part #4 Persiapan!

$
0
0
Oleh: Aul Howler



“Kalau begitu ini cukup gawat, barra,”
                Lelaki dengan baju menyerupai dewa di film-film itu mengelus-elus jenggotnya yang seputih salju di bulan desember. Raut-raut keriput di wajahnya begitu tua, seolah umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Emas murni bergelayut di pergelangan tangan dan lehernya, melingkari dahinya, dan melilit tongkatnya, membuat orang ini terlihat begitu kaya dan berkuasa. Ya, kakek Gutanana ini adalah kepala suku Shiny Land, yang kedudukannya paling tinggi di tempat itu.

                “Ayahanda benar, bara,” Ujar seorang wanita bergaun gemerlap di sampingnya —Sang ratu, sekaligus Ibu Gutanana— dan bermahkota dengan hiasan rubi. “Prajurit Dark Kingdom saja sudah gawat, apalagi rajanya juga, barra.”
                “Kita tidak bisa diam saja, barra.” Ayah Gutanana —Raja Shiny Land— ikut berpendapat. “Kita harus mempersiapkan diri untuk menahan serangan! Bahkan, bila perlu kita serang balik, barra!”
                Kepala suku diam saja. Kerutan di dahinya sejenak bertambah beberapa baris, menandakan ia sedang berpikir keras.  Kemudian ia bersuara, “Apa menurut kalian, kita masih bisa melunakkan hati Raja Dark Kingdom? Maksudku, bila kita jelaskan kepadanya, bahwa kehancuran tubuh salah satu prajuritnya karena panah kayu cahaya itu adalah sebuah ketidaksengajaan, apa kira-kira dia mau membatalkan serangan?”
                Ayah Gutanana menggeleng, “Kita tidak bisa memprioritaskan hal itu, Ayahanda.  Mungkin kita bisa jadikan itu sebagai rencana pertama. Tapi rencana kedua, ketiga dan seterusnyalah yang harus kita prioritaskan. Kita tidak boleh ambil resiko dengan satu rencana. Kita harus tetap pastikan tidak ada penghuni  Shiny Land yang terluka, barra!”
                Kepala suku menatap raja dengan pandangan penuh sirat kebanggaan. “Kau adalah raja yang jauh lebih bijaksana daripada aku, saat aku masih memerintah dulu, barra.”
                Raja tertawa, “Tidak, barra! Ayahanda lah yang mendidik dan mengajarkan aku menjadi raja yang harus selalu punya rencana cadangan, bukan? Itu artinya Ayah lebih hebat dariku, barra! Bahkan, dulu Ayah berhasil memukul mundur serangan Dark Kingdom, ingat tidak, barra…?”
                Kepala suku menggaruk kepalanya yang sebagian besar telah botak. “Waaah…. Aku terlalu tua untuk mengingat itu. Rasanya memang pernah tapi…. Entahlah, barra! Penyakit pikun ku tambah oarah saja, barra” Ujarnya sambil tertawa terkekeh, memamerkan deretan giginya yang tak lagi lengkap. Semua yang berkumpul di istana termasuk Gutanana, Gutarara, Raja, Ratu, petinggi prajurit, pimpinan daerah, dayang dan sebagainya, ikut tertawa. Tapi Yogie yang juga berada di sana hanya diam saja, dongkol diabaikan semua orang.
                “Maaf, permisi. Saya rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk tertawa atau reuni keluarga. Bukankah Shiny Land akan diserang?” Yogie tak tahan berkomentar.
                “Anak muda ini benar. Kita harus segera bersiap, barra.” Raja bergumam, kemudian ia mengangkat kedua tangannya, lalu menghentakkan tongkat besarnya 3 kali ke lantai.
                “Perintah kepada seluruh pimpinan dan petinggi Shiny Land! Tolong beritahukan seluruh penduduk terutama wanita dan anak-anak, agar segera bersembunyi di dalam gua-gua bawah tanah. Sebagian lelaki harus ikut bersembunyi, lindungi wanita dan anak-anak! Kita tak bisa lengah, bila saja prajurit Dark Kingdom mampu menerobos pertahanan yang akan dibuat. Sebagian lelaki lainnya yang mahir memanah dan menombak, tolong persiapkan tombak, busur dan anak panah kayu cahaya. Harap ikut berperang bersama prajurit Shiny Land lain. Sekarang Juga!”
                Dan semua orang mulai sibuk, berlarian ke sana ke mari. Rumah Gutanana yang merupakan istana pusat kerajaan itu perlahan mulai sepi. Yang sekarang berada di dalamnya hanya Gutanana sekeluarga.
                “Aku… aku… minta maaf, barra!” Gutanana memulai. Suaranya tbergetar, sepertinya menahan keinginan untuk menangis.
                Gutarara menjerit, “Maaf saja tidak cukup, barra! Apa yang telah kau lakukan memang sangat keterlaluan! Kau menyebabkan kehancuran, barra! Kau menyebabkan penderitaan, barra! Kau menyebabkan perang, barra!”
                Gutanana menunduk. Air matanya mulai menetes, mengalir melalui pipinya dan jatuh ke lantai. “Maafkan Aku… barra…”
                “Sudah kubilang kan, ini semua bukan salah Gutanana. Ini salahku! Gutanana menggunakan panah keramat itu hanya karena berusaha melindungiku dari serangan prajurit kingdom. Kenapa tak ada yang mau mengerti…?”
                Gutanana berhenti menangis, dan hiasan kepalanya bersinar. Gutarara melotot galak, lalu berteriak lagi, “HAAHH!! Di saat seperti ini malah terjadi, barra!!” kemudian ia meninggalkan ruangan itu.
                “Apa?” Ujar Yogie, sama sekali tak mengerti.
                Raja tersenyum, “Kau… Sepertinya yang dipilih menjadi menantu kami, barra.”
                Wajah yogie memerah. Tubuhnya tiba-tiba terasa tak nyaman. Jantung nya berdebar lebih cepat, dan ia dapat merasakan setiap inci dari nadinya berdenyut-denyut kuat. “Eh… kalau tidak salah tadi anda bilang… me… meenan… menantu…??”
                Raja mengangguk, dan Yogie merasa ingin pingsan. “Apa alasannya? Apa seperti yang dikatakan Gutanana sebelumnya? Bahwa aku telah memecahkan bunga asmara karena perasaanku pada Ciara, yang mirip Gutarara…?”
                Raja dan ratu melongo. “Gutarara… barra…?”
                Yogie mengernyitkan dahinya, heran. Sungguh, selama berada di Shiny Land sudah berkali-kali ia merasa heran —atau terkejut— karena banyak hal. Tapi ini yang membuatnya paling heran. “Tadi anda bilang….”
                “Gutanana, maksud kami. Tentu saja, barra” Kepala suku angkat bicara. “Hiasan kepala seorang putri keturunan raja akan bersinar bila calon suaminya telah ia temukan. Dan kau, anak asing yang ingin tahu, telah dipilih oleh hiasan kepala Gutanana. Artinya…..”
                Yogie memotong cepat, “Aku…? Dan Gutanana akan…? MUSTAHILL!!!”
                Gutanana ikut memerah mukanya. “Ayahanda, Ibunda, Kakek… Aku rasa sekarang buakn saatnya membicarakan masalah kecil ini. Sebaiknya kita juga bersiap-siap menghadapi gempuran Raja Dark Kingdom, barra!”
                “Biar aku saja yang nanti mencoba bicara pada Raja Dark Kingdom, barra.” Kepala suku mengusulkan.
                “Aku dan Gutarara akan ikut melindungi para wanita dan anak-anak di gua bawah tanah, barra” Ratu ikut bicara.
                “Aku akan memimpin pasukan perang, barra.” Raja tak mau kalah.
                 “Dan aku… Dan Gutanana… apa yang harus kami lakukan…?” Yogie mengeluh.
                Raja memejamkan matanya sebentar, kemudian ia tersenyum. “Kami tak bisa biarkan calon menantu terluka. Kau sebaiknya jaga tuan putrimu dan istana ini, barra. Ini perintah, barra.”
                Yogie tak berkutik lagi. Ia terpaksa menerima saja.
 (Bersambung)

Tamu Hati

$
0
0
Oleh: Sisi Ungu


”Apa keputusanmu?”

“Sudah tiga kali Bi Aini dan paman menanyakan perjodohanmu dengan Adam.”
 “Masih bingung.” Aku memandang Ibu ragu.

“Ibu dan Bapak tak ingin memaksa.”
 “Pikirkan baik-baik, kamu yang akan menjalaninya.” tambah ibu lagi sebelum meninggalkan kamarku.

      Aku terdiam sejenak. Kalaupun akhirnya aku menolak perjodohan ini tentu harus dengan cara yang paling baik. Karena menyangkut hubungan dua keluarga dekat. Bi Aini adalah sepupu Bapak.
 
***
 
      Lama sudah tak bertemu Adam. Sosok agak pemalu yang kukenal dari SD bahkan di tahun-tahun awal remaja. Ketika SMP dan SMA kami masih satu sekolah, pernah sekelas tapi tak pernah sekalipun akrab. Waktu SMA, Adam tergabung dalam grup band sekolah. Biasanya ia bersama teman-temannya nongkrong di kantin Bi Nonong lalu sembunyi-sembunyi mengepul asap rokok takut ketahuan guru.

      “Bagaimana Vey? tanya tante Ririn, adik ibu yang paling ribut.

    “Adam untuk Tante aja.” Aku tersenyum geli sembari membetulkan letak jilbab lalu meraih remote memindahkan saluran televisi.

      “Hahaa…trus om Saiful?” ia yang duduk di sisi kiri menepuk pundakku.

      “Apalagi yang kamu pikirkan? Danang yang sholeh itu juga kau tolak ”

      “Namanya juga bukan jodoh.” Jawabku klise.

      “Masalah pernikahan bukan hanya siapa yang akan menjadi suamimu, tapi juga bagaimana kamu mampu bertahan didalamnya, siapapun suamimu itu.” sambut Bapak tiba-tiba lalu bergegas pergi ke mesjid untuk sholat ashar.

      Tak ada kata yang keluar dari mulut. Lama kupikirkan perkataan Bapak.
 
***
 
      Sore dengan angin tak seberapa Aku termenung di kamar, bertanya-tanya apa yang membuat keluarga Bi Aini memilihku. Tak lama terdengar suara handphone.

     “Maaf, Aku hanya tahu sedikit tentang kebaikan. Iya atau pun tidak jawabanmu, aku ingin berusaha menjadi seseorang yang lebih baik kini. Mohon doanya Vey.” sms bertulis nama Adam diakhir kalimat.

      Di tengah gemuruh resah aku berpikir. Sedikit kepahaman, aku tak ingin memilih sembarang laki-laki.

      “Beri waktu seminggu lagi untuk memutuskan.” kutekan reply.

     Setelah beberapa kali istikharah, menimbang-nimbang lagi. Aku mengatakan langsung pada Adam lewat handphone.

     “Hidup bagaikan bertamu ke rumah seseorang. Waktunya tidak lama. Aku berharap kita bisa saling mengingatkan untuk meninggalkan kesan yang baik kepada pemilik rumah, yaitu Tuhan, ketika tiba hari harus pergi.”

      “Trus?”

      “ Aku menerima perjodohan ini. ” keteguhan Adam untuk memperbaiki diri membuatku yakin.

      “Alhamdulillah” ucapnya singkat.
 
***

       Tiga bulan berlalu.

      Tenda berbalut kain putih dan ungu sudah berdiri kokoh. Besok kami menikah. Namun selepas maghrib sebuah kabar menggempur dadaku. Adam kecelakaan ketika hendak mengantarkan undangan yang hampir terlupa ke salah satu temannya. Ia tertabrak sebuah mobil. Masih dalam keadaan bingung dan panik Aku dan Bapak menuju UGD, tempat Adam berada.

     Bi Aini menyambutku dengan tangis. Kondisi Adam kritis. Dua jam kami menunggunya penuh gelisah. Kulantunkan zikir berkali-kali. Beberapa menit kemudian ia sadarkan diri lalu meminta beberapa anggota keluarga berkumpul.

      “Tolong pilihkan Vey lelaki yang lebih baik dariku.” napasnya tersengal-sengal berbicara pada Bi Aini dan Paman.

      Kemudian ia tersenyum agak lama memandangku yang berdiri di samping Bapak. Aku menyadari waktu demikian singkat kemudian Bapak membantunya mengucapkan syahadat.

     Aku terduduk lemas. Ada buliran air mata yang tak mampu kubendung. Besok mestinya aku menjadi pengantin namun Tuhan berkehendak lain. Tamu hatiku telah pergi. Ada kesedihan mengepung hati.


Pontianak, 26 januari 2011

Aku Dan Mereka Sama

$
0
0
Oleh: Widi - Bintang Dandelion



      Aku membenci mereka, sama halnya dengan mereka yang sangat  membenciku.  Dengan pakaian bagus, mereka fikir mereka akan lebih baik dibandingkan dengan aku?  Tidak Tuan, standar penilaianmu sungguh salah besar. Aku bisa menjamin, mereka yang berdasi  dan menghabiskan semua yang bukan haknya itu jauh lebih menjijikkan dibandingkan denganku.

********** 

      “Pak, aku lapar” ahh rengekan anak-anak itu sungguh sangat menggangu pendengaranku.
    “Iya, sebentar!  Aku keluar cari makanan untuk kalian” Aku juga sudah tidak tahan lagi melihat mereka kelaparan. Bahkan aku juga tidak memperdulikan bunyi yang juga sangat mengganggu. Bunyi yang berasal dari perutku.

      Aku bergegas berjalan melewati lorong-lorong sempit ini. Melewati genangin air dengan tanah berlumpur, dan aku sudah terlatih melewati ini semua.  Perlahan aku mulai menyelinap masuk kebelakang rumah mereka, rumah megah dengan segala macam jenis pengamanannya. Tapi tidak sulit bagiku untuk bisa masuk kedalam rumah mereka. Aku tidak pernah kesulitan untuk itu. Toh ini memang sudah keahlianku.

     Aku selalu heran mengapa mereka membenci aku dan keluargaku.  Apakah aku salah, jika aku hanya berusaha mencari makan untuk keluargaku? Kenapa mereka ingin sekali melukai aku dan keluargaku, bahkan tak segan-segan mereka juga meracuni kami. Baiklah, sesekali mungkin memang kami menumpang mencari makan ditempat mereka. Tapi kami hanya mengambil sisa-sisa dari makanan mereka yang sudah tidak mereka makan. Mereka juga berteriak histeris saat melihat kami. Ya, aku tahu, mungkin bentuk kami memang sedikit kotor. Menjijikkan. 

     Sedikit mudah ternyata mengambil makanan mereka, "besok akan aku coba lagi mencari makan ke tempat ini.” Batinku. Mungkin itu juga yang membuat mereka suka sekali mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Karena sekali mereka mengambil dengan mudah, maka mereka akan melakukan itu lagi, terus menerus. Sama seperti aku. Bedanya, mungkin aku mengambil makanan sisa-sisa dari mereka yang sudah terbuang. Karena aku hanyalah seekor tikus jalanan yang mencari makan untuk keluargaku.

Melihatmu Bahagia Selalu

$
0
0
Oleh: Uchank





      Aku masih sibuk dengan hobiku sedari beberapa jam yang lalu, memperhatikanmu. Ah itu, aku senang melihatmu seperti itu. Matamu yang menyipit karena tersenyum sambil bercanda dengan penata busanamu, wajahmu yang sumringah dan suara tawamu yang menyengat kupingku, bahagianya. Gaunmu itu pasti pilihanmu sendiri, aku tahu motif favoritmu dan warna kesukaanmu yang masih saja itu.

       Hari ini hari bahagia kita. Iya, rasanya aku ingin mengatakannya dengan lantang saat ini. Kenapa aku bisa sebahagia ini? Aku memperhatikan lagi setelan jasku sendiri, serba hitam seperti pemeran utama film Man In Black. Ah ini, aku lebih berwibawa rasanya. Tapi jantungku terasa aneh, kenapa detaknya berbeda? Tak seperti yang kubayangkan.

       Keluarga besarmu juga datang, mereka pasti bahagia, bisa kulihat dari binar mata mereka. Kamu tak mendengar doa-doa yang manis itu? Yang mengharapkanmu bahagia dari lubuk hati mereka yang bahkan hanya Tuhan yang tahu dalamnya. Apa lagi dua saudara perempuanmu yang tersenyum menggelitik ke arahku, seperti itulah mereka menguatkanku.

       Aku memasuki acara resepsi itu dengan hati yang berdebar-debar. Entah karena akan menyanyikan lagu favoritmu atau karena tak kuat melihat bahagiamu dengan lelakimu. Sungguh, ini benar-benar kebahagiaan yang dilematis. Andai saja bukan karena permintaanmu, andai saja bukan karena kamu menganggapku teman terbaik, andai saja kata pengandaian tidak pernah ada diantara kita. Apa aku boleh menulis andai saja aku yang menikah denganmu? Ah, aku bahkan tak tahu sedang menulis apa.

       “Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”
       Aku masih ingat kata-kataku sendiri, kalimat melankolik yang dengan tegas kukatakan saat kita masih kuliah dulu. Tapi, apakah aku benar-benar bahagia melihatmu bahagia dengan lelaki lain? Ah Tuhan, Engkau pasti sedang bergurau denganku sekarang, dengan hatiku yang sangat kecil di depanMu ini.

       Apakah aku menyesali perasaanku, hidupku, atau kemalanganku? Tidak, sungguh, ini tidak seperti kelihatannya atau apa yang ada dibaliknya. Aku memang bahagia melihat semua ini, walaupun dengan lelakimu yang aku sendiri tak pernah mengenalnya. Aku suka melihat senyummu, selalu saja ingin melihatnya, bahkan di hari yang paling memuakkan sekalipun.

       Aku tak akan pernah menyesal, apa lagi saat pertama kali menaruh hati padamu. Kamu bahagia? Itu cukup, anggap saja begitu.
Karena aku sudah melepasmu, bisa bahagia sendiri kan? Kalau tak bahagia, aku masih disini. Rumah di dalam hatiku masih kuat, pondasinya bahkan. Entah kuncinya kamu sembunyikan dimana.

       Aku mencintaimu, perempuan yang mempunyai prinsipnya sendiri. Selalu.
Selamat berbahagia yah teman baik...


Yogie And The Shiny Land - Part #5

$
0
0
Oleh: Aul Howler                  


“Seraaang, barra…!!!”
         Seruan Raja mengawali riuh rendah di bawah sana. Ratusan prajurit dengan pedang dan panah berteriak sambil berlari ke depan dengan penuh semangat. Para wanita dan anak-anak telah bersembunyi dalam gua-gua bawah tanah. Dan Yogie, seperti apa yang diperintahkan kepadanya, berdiri di beranda lantai dua, menjaga istana bersama Gutanana.
         Tampaknya perang tak bisa dihindari. Raja Dark Kingdom menolak, saat Kepala Suku memintanya membatalkan serangan. Bahkan penjelasan bahwa penembakan panah kayu cahaya yang menyebabkan hancurnya tubuh beberapa prajurit Dark kingdom hanyalah sebuah ketidak sengajaan, sama sekali tak diabaikannya.
         “Ini semua salahku, barra…” bisik Gutanana lirih.
         Yogie, yang di berdiri di sebelahnya sejak tadi hanya diam saja, menatap prajurit Dark Kingdom yang kini sudah mulai menembaki apa saja dengan sinar-sinar penghancur.
         “Seharusnya Aku berpikir lima kali sebelum menggunakan panah kayu cahaya itu, barra…” tambahnya.
         Yogie menatap Gutanana. Terlihat jelas Gutanana sedang berada dalam kesedihan yang dalam. Raut wajahnya ―paling tidak dalam 24 jam terakhir― tidak menunjukkan keceriaan, seperti saat mereka baru sampai di Shiny Land dan yogie memecahkan sebuah bunga asmara, dimana Gutanana tertawa sangat keras.
         “Kau memang menyebalkan.” Ujar Yogie.
         “Apa, barra…?” Gutanana kaget. Ia sama sekali tak menebak bahwa Yogie akan mengatainya menyebalkan, bukannya menghibur.
         “Ya. Kau menyebalkan. Aku bahkan mulai lelah mengatakan bahwa itu semua bukan salahmu! Kau melakukannya untuk melindungiku! Dan bla… bla… blaa… yang sudah berkali-kali kusebut sejak peristiwa itu, dan kau masih saja berkata itu semua salahmu. Apa itu tak menyebalkan namanya.”
         Gutanana tersenyum lemah, lalu menunduk lagi.
         “DHUARR!! DHUARRR!!!”
         Yogie dan Gutanana tersentak. Ya, bunyi ledakan barusan terdengar lebih dekat.
         “Mereka berhasil menghancurkan gerbang perkampungan, barra!!” Gutanana menjerit.
         Yogie juga panik, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia masih yakin bahwa prajurit Shiny Land mampu mengatasi serangan, karena mereka membawa banyak sekali kayu cahaya. Selain itu, sejak perang dimulai suara-suara kaca pecah berkali-kali terdengar. Itu artinya sudah cukup banyak prajurit Dark Kingdom yang kehilangan tubuh.
         “AAAAAAAAAAA!!!!”
         Terdengar jeritan lebih banyak di bawah sana. Yogie menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih jelas apa gerangan yang tengah terjadi. Dan kemudian ia ternganga. Prajurit Dark Kingdom dalam jumlah yang luar biasa banyaknya berbaris rapi, dan mendesak masuk sambil menghancurkan apa saja dengan sinar-sinar biru dan ungu dari mata mereka.
         “Sepertinya pasukan Shiny Land kehabisan senjata, barra! Dan agaknya banyak sekali yang terluka, barra! Bagaimana ini, barra!!” Gutanana semakin panik.
         “DHUARR!!”
         Sebuah sinar penghancur mengenai dinding beranda. Yogie dan Gutanana terlempar ke belakang.
         “Kita harus cepat sembunyi!” Ujar Gutanana, kemudian menarik lengan Yogie. “Ayo Grumpie! Kau juga, Grumpie biru! Barra!” teriaknya. Dan kedua Grumpie yang tengah bermain di sudut beranda mengikutinya.
         “Tunggu. GRUMPIE BIRU… barra…!!??”
         Yogie heran. Eksrpesi Gutanana sebentar-sebentar berubah. “Ada apa dengan Grumpie biru?” Ujarnya, tak tahan bertanya
         “Aku… saat kecil dulu, barra! Kakek selalu menceritakan dongeng tentang Grumpie biru dalam legenda yang bisa meredakan setiap kemarahan, yang bisa memusnahkan setiap rasa kebencian, dan selalu membawa kedamaian bagi siapa saja, bara!”
         Yogie tertawa. “Dan Grumpie biru ini sudah berada di sampingku sejak aku juga berada di sini beberapa hari yang lalu. Jadi kenapa masih ada peperangan?”
         “Kau benar, barra.” Ujarnya. “Pasti itu memang hanya dongeng karangan kakek, barra. Padahal tadinya aku berpikir Grumpie biru bisa meredakan perang, barra.”
         Yogie tertawa lagi, dan Grumpie biru di sebelahnya melompat-lompat senang dengan ekor spiralnya. Bola berkilauan seperti Kristal di ekornya berkelap-kelip.
         Yogie membelalakkan mata. “Tak ada salahnya mencoba!!” jeritnya.  “Ayo! Grumpie! Kita ke puuncak atap istana!”
         Grumpie biru itu melingkarkan ekornya ke pergelangan tangan Yogie, dan mengangkatnya ke udara dengan beberapa kali kepakan sayapnya.
         “Apa yang kau lakukan, barra!!??” Gutanana memekik.
         Sebuah suara dhuar lalu dhuarr lagi terdengar di belakang Gutanana. Ia kaget bukan main. Prajurit Dark Kingdom berhasil memasuki istana, dan beberapa sudah di hadapannya. 
         “Grumpiee!” ujar Gutanana, memanggil Grumpie coklat miliknya. Grumpie itu menjulurkan ekornya, dan Gutanana menggenggam batu berkilauan di ujungnya. Sebentar cahaya terang berpendar, dan beberapa prajurit Dark Kingdom yang tadi mendekat, berlarian mundur sambil memegangi mata mereka dan mengaduh kesakitan.
         “Kita ke atas juga, barra! Mereka hanya akan buta sementara, barra!” Ujar Gutanana kepada Grumpie nya. Dan Grumpie itu mengangkatnya ke atas, menyusul Yogie.
            Panik sepertinya bukan kata yang pantas untuk keadaannya saat ini. Ia sangat panik! Agaknya dirinya dan Yogie adalah yang tersisa di atas tanah, sementara seluruhnya telah bersembunyi. Gerombolan prajurit Dark Kingdom, di bawah pimpinan raja Dark Kingdom telah menanti di bawah sana. Dan beberapa Prajurit Dark Kingdom yang tadi buta oleh cahaya grumpie coklatnya, kini telah kembali pulih, dan merangkak menuju puncak istana tempat Yogie dan Gutanana berdiri saat ini.
         “Sekarang apa, barra?” Ujar Gutanana.
         “Kita coba. Aku yakin kakek mu bukan pembohong!” Ujar Yogie. Ia meraih ekor Grumpie biru nya, dan menggenggam baru berkilauan di ujungnya yang tadi berkelap-kelip. Cahaya yang sangat terang dan sangat silau berpendar dari tubuh Grumpie biru, menyinari Shiny Land. Yogie dan Gutanana memejamkan mata, menunggu apa yang akan terjadi.
Viewing all 76 articles
Browse latest View live